Belajar filosofi kehidupan dari Suku Lio (pelepata sara lio)

Nusa Tenggara Timur adalah provinsi yang paling eksotis menurutku. Provinsi kepulauan tersebut menyimpan puluhan suku bangsa dengan budayanya yang beragam. Kecintaanku semakin menjadi-jadi setelah melihat secara langsung festival komodo di labuan bajo juli 2011 silam yang menampilkan sangat beragam budaya suku di seluruh nusa tenggara timur. Pun, baru dua bulan hidup di salah satu pedalaman sana, sungguh membuatku makin cinta tentang keberagaman suku di NTT, tidak hanya belajar budaya manggarai. Terlebih kedua orangtua ibuku (kakek-nenek), sudah sangat lama tinggal di Atambua, Belu, dan Timor-timor (sebelum berpisah). Berkat mereka, tambah makin cinta bagiku untuk kembali ke provinsi seksi ini. Sungguh sangat menakjubkan bagi mereka yang cinta wisata sejarah dan budaya.
sebelumnya aku memang sangat tertarik belajar rumpun bahasa Timor, sungguh sangat lugas dan seksi. haha ! apalagi ketika mendengarkan bahasa Lio secara langsung ketika berbelanja syal di plataran Moni. Nenek ini sungguh masih sangat cantik ^^

Suku Lio mempunyai wilayah persekutuan dalam cakupan yang sangat luas sekali yaitu dari Nanga Ba (Ujung barat perbatasan Kabupaten Ende) sampai Nanga Blo (Sebagian Wilayah administrasi kabupaten Sikka). Suku Lio juga terbagi dalam beberapa wilayah persekutuan yang mana setiap wilayah mempunyai dialeknya sendiri misalnya; Ata Mego, Ata Mbengu, Ata Lise, Ata Mbuli dan Ata Lio Ende dll.
Dalam Sara Lio, kita mengenal istilah ‘Pelepata’, atau ‘Basa Waga’. Ya.. Pelepata/basa waga, yang kalau didefinisikan kedalam bahasa Indonesia Artinya (Peribahasa) ‘makna kiasan’. Pelepata biasanya terdiri dari satu kalimat atau lebih, dan tergolong kalimat yang unik untuk orang Lio, karena selain sulit untuk dipahami maknanya pun sangat beragam. Pelepata/basa waga juga mengandung petuah, wasiat atau ungkapan kegembiraan atau menggambarkan filosofi seseorang dan lain sebagainya Berikut ini beberapa petikan pelepata/basa waga;

1. Bhoti kale ana halo, Fai walu raka mbale. Yang berarti; Yatim piatu dan para janda harus dilindungi dan dijamin hak hidupnya oleh adat (pemerintah) supaya mendapatkan kehidupan yg layak.
2. Dari Nia Pase La’e. Yang berarti; Laki – laki harus berdiri di garda terdepan menggantikan generasi terdahulu (ayah/leluhur) dengan maksud untuk melindungi keluarga besar.
3. Ndeto peto, Au Ila. Ndeto Peto pate ndeto, Au Ila Poka Au. Kalimat ini mengandung ungkapan yang menunjukan kebesaran dan kemenangan. Secara harfia di terjemahkan sebagai berikut; ‘Ndeto peto Au Ila’ adalah nama sebuah Senapan (senjata api warisan leluhur yang diyakini mempunyai daya magis) Disisi lain, kata ‘Ndeto dan Au’ juga menggambarkan sosok seseorang. Pada hal kata ‘Ndeto’ itu adalah nama sejenis tumbuhan yang bisa menimbulkan alergi kulit dan ‘Au’ itu adalah nama sejenis Bambu Aur.
4. Tedo tembu Wesa wela, Gaga Bo’o Kewi Ae. Secara harfia diterjemahkan sbb; ‘Tedo tembu, wesa wela’ = ditanam akan tumbuh, ditabur akan berbenih.
Gaga Bo’o Kewi ae = penghasilan yg melimpa dan mengalir seperti air
Jd artinya; pekerjaan, menanam dan menabur akan menuai hasil yg melimpah seperti air yang mengalir.
5. ‘Lake Lika Rapa Pi’a, Lai Tangi Rapa Sai’. Jika diterjemahkan secara harfia sebagai berikut; ‘Lake Lika’ = merobek tungku. ‘Rapa Pi’a’ = Berkelahi Dan ‘Lai Tangi’ = menggeser/mengambil tangga. ‘Rapa Sai’, = Bersentuhan badan (berkelahi). Yang Menarik, kata Tungku dan tangga disini sebenarnya berkaitan erat dengan Pranata yang ada dalam rumah adat. Sehingga kalimat ini akan bermakna bahwa sesungguhnya kita harus saling menghormati satu sama lain (atau menyangkut batas – batas wilayah kekuasaan) dan harus memahami historia sejarah yang sebenarnya.
6. ‘Hungu Dubu, Lima Bita’. Secara harfia artinya; Hungu dubu = Kuku jari yg tumpul. Lima Bita = tangan yg berlumpur. Jadi jika kedua kata ini digabung akan berarti Tangan kita dituntut harus giat dalam bekerja.
7. Tura jaji. Kalimat ini berasal dari ‘Tebo Tura, Lo Jaji’, yang arti secara harfianya; ‘Tebo Tura’ = Tubuh/badan yang termuat (terbebani). Sedangkan ‘Lo jaji’ = Pundak yang memikul perjanjian. Jadi jika digabungkan akan berarti ‘setiap kita harus menjunjung tinggi perjanjian. Perjanjian disini maksudnya perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para leluhur.
8. ‘Jawa Dupa Ria, Pare wole Bewa’. artinya penghasilan yang melimpah rua.
9. ‘Moke Gera Pebi, Uma Langi duri’. Secara harfia kalimat ini menjelaskan; ‘Moke Gera Pebi’ = Beberapa Tiang dari bambu yang sengaja ditanam untuk menyadap Air Nira. ‘Uma Langi Duri’. = Kebun atau Ladang yang berdampingan. Jadi kalimat ini mengajak kita untuk hidup saling berdampingan, saling menyapa dan tanpa ada rasa curiga antara satu dengan yang lain meskipun kita mempunyai kebiasaan yang berbeda. setiap orang itu memiliki karakter yang berbeda-beda, jadi tidak berhak membenci orang karena sifatnya tidak sama dengan apa yang kita harapkan. Terlebih jika melihatnya dari penampilan luarnya semata.
10. ‘To’o Lei po’o Mbana Lei Mbeja, Boka Ngere Hi Bere Ngere Ae’. Artinya; Semua didalam keluarga harus: beranjak, sejalan seperti serumpun bambu, sependeritaan dan mengalir laksana air. maksundya: didalam keluarga harus terbinah kekompakan dan harus meleburkan diri menjadi satu.
Kata bijak dalam sara Lio,
Ma’e Sewo Bebo, Nitu Ngadho No’o Babo Mamo eo Te’ti Tei Ra Kita.
Ebe, langga do leka fila bewa, nuka leka keli soke ele nesi susa, Jaga paga do no’o jala – jala medu tei nia ana mamo muri bheri.

(Janganlah melupahkan Para Leluhur yang sudah meneteskan darah kepada Kita. Mereka telah melampaui kelamnya jurang dan tingginya gunung meskipun kesulitan menghadang, mereka telah melindungi kita untuk dapat melihat para cucu, cicit dan buyutnya hidup baik adanya).
sungguh, jelas lebih akan mengena mempelajari filosofi kehidupan dari khasanah budaya sendiri, ketimbang harus mengadopsi ideologi dari negara orang, apalagi barat. bisa jadi tidak cocok untuk diterapkan di bumi pertiwi.

تعليقات