ASAL–MUASAL PADI MENURUT PERSPEKTIF MASYARAKAT LIO-ENDE




I. Pengantar
Ada dua tokoh yang menjadi titik tolak kehadiran mitos ini yakni: Bobi dan Nombi (Dewi Padi). Mitos ini merupakan salah satu karya sastra suci dalam khazanah sastra Lio, khususnya yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam jiwa dan semangat peladang Lio-Ende. Bagi komunitas peladang Lio-Ende, pelbagai ritual dalam lingkaran hidup perladangan tradisional bersandar dan bersumber pada kandungan makna pesan, amanat suci, dan ideologi di balik  mitos tersebut. Betapa dalamnya makna ideologi yang terkandung di balik mitos itu pula, nama sang "penjelma" dan "tumbal" padi asli itu. Kesadaran akan kekayaan nilai dan kepatuhan melaksanakan amanat ideologi yang terkandung di balik mitos itu harus diakui masih dimiliki oleh sejumlah kecil generasi peladang tua, sedangkan generasi muda Lio-Ende dewasa ini sudah kurang menyadarinya lagi. Komunitas peladang Ende-Lio meyakini bahwa tanaman padi tersebut  adalah “penjelmaan” tubuh manusia. Kedua nama tersebut diatas mengorbankan diri mereka kemudian berubah  menjadi tanaman padi. Mitos ini juga yang mentradisikan dan melandasi pelaksanaan ritual. Pada umumnya masyarakat telah menghidupinya nilai mitos itu dan bahkan sudah mendarahdaging dalam diri peladang etnis Lio-ende.
II.  Mitos asal-muasal Padi[1]
Ada dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung hidup keduanya mengemis ke sana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah musim kemarau yang amat panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum (incest), padahal keduanya merupakan saudara sekandung. Pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi.
Atas perintah Mosalaki (tuan tanah), Bobi dan Nombi segera ditangkap. Namun entah kenapa kedua anak itu tiba-tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu ke berbagai penjuru kampung. Beberapa hari kemudian, masyarakat menemukan kedua anak itu dibawah lereng Gunung Kelinida dan mengejar kedua anak itu secara bersama-sama sambil menghunuskan senjata tajam seperti, parang, panah dan lain sebagainya. Beberapa saat setelah pengejaran, kedua anak itu pun ditangkap dalam keadaan bersimba darah akibat terkena senjata tajam. Lalu masyarakat membawa kedua anak itu  menuju ke puncak Gunung Kelinida, sebuah gunung yang terkesan angker dan jarang didatangi orang. Bobi ditempatkan di bagian timur sedangkan Nombi ditempatkan di sisi barat. Perjaka dan dara yatim piatu itu dibunuh dan dicincang sebagai silih dan tebusan atas dosa dan kenistaan mereka dengan harapan hujan segera turun membasahi bumi yang sedang gersang itu. Namun, setelah lama mengorbankan kedua anak yatim piatu itu, hujan tak kunjung datang jua. Bahkan kemarau semakin garang saja. Mosalaki (Tuan Tanah) beserta seluruh warga kampung semakin gelisah. Mereka semua kwatir, jangan sampai Bobi dan Nombi yang tidak berdosa itu hidup kembali.
Pada suatu hari Mosalaki memanggil seluruh warga untuk bermusyawarah lagi. Mereka bersepakat untuk melihat kembali jenazah Bobi dan Nombi yang dicincang di puncak Gunung Kelinida. Sebab, mereka semakin bingung saja karena hujan pun tak kunjung datang. Berangkatlah orang-orang sekampung ke puncak Gunung Kelinida. Setibanya di puncak Gunung Kelinida yang datar itu, tampaklah hamparan tanaman serupa ilalang yang berbuah lebat dan menguning matang. Tanaman itu tepat di lokasi pembunuhan Bobi dan Nombi. Tanaman sejenis itu belum pernah mereka lihat. Akhirnya, mereka sepakat untuk membawa pulang dan merahasiakan "bulir-bulir rumput ilalang" itu. Setelah dikupas oleh Ndale dan Sera, tampaklah biji-bijian yang berwarna putih dan merah yang diasosiasikan oleh mereka penjelmaan daging dan darah Bobi dan Nombi.
Walaupun demikian, ketika mereka tiba di kampung, tidak seorang pun yang berani menyantapnya. Setelah bermusyawarah kembali bersama Mosalaki, mereka sepakat agar "makanan" baru yang sudah dikupas itu diuji coba makan oleh janda saja. Dasar perhitungannya, jikalau si janda itu nanti mati keracunan "makanan" baru itu, niscaya kecil resiko dan tidak ada orang yang menuntutnya. Janda Pare pun dipanggil. Pada mulanya Pare enggan dan menolak makan karena ia juga takut mati. Namun, karena ia diancam oleh Mosalaki dan warga kampung itu, pada akhirnya Pare pasrah dan rela makan dengan syarat, biji-bijian itu harus dikupas dalam jumlah banyak. Dengan demikian, seandainya ia harus mati, ia telah cukup puas menyantapnya. Dengan perasaan yang sangat cemas, percobaan menyantap biji-bijian yang dilakukan oleh Pare disaksikan oleh semua orang. Usai mencicipi segenggam, dua genggam, tiga, bahkan sampai beberapa genggam, wajah Pare justru berseri-seri. Percobaan selanjutnya diikuti oleh Wole, juga janda sebatang kara yang memang meminta dan menikmati biji-bijian baru itu. Menyaksikan Pare dan Wole makan dengan penuh gembira, orang-orang sekampung itu berminat keras untuk turut menikmati makanan baru itu. Jadilah biji-bijian yang baru itu "menjelma" menjadi makanan utama bagi seluruh masyarakat kampung itu. Kemudian, disusul pula dengan amanat agar tanaman itu ditanam melalui ritual atau upacara khusus sebagai penghormatan dan rasa syukur serta harus diwariskan kepada anak cucu.
Masyarakat di sekitarnya yaitu mereka yang ada di daerah Lise, Mbuli, dan Tenda pun akhirnya mendengar berita yang menggemparkan itu. Mereka segera mencari dan menjejaki asal-muasal makanan baru yang lezat itu. Setelah ditemukan, biji-bijian itu pun dibawa pulang dan diamanatkan juga kepada anak cucu mereka agar cara menanamnya harus dicampuri dengan batu hitam dan emas. Selain itu, pada masa panen usai, makanan itu harus dirayakan secara adat pula. Dalam pesta panen itu, darah ayam dikorbankan untuk mengenang Bobi dan Nombi. Sebelum pesta syukur panen itu, hendaknya diawali dengan remba ngenda[2]. Dari berbagai versi sejarah yang masih samar juga menyebutkan secara rinci bahwa; Darah yang berasal dari Bobi dan Nombi menjelma menjadi Beras merah (Pu'u Pare) yang mewakili setiap ritual adat Lio, sedangkan tulang belulangnya menjelma menjadi Ubi kayu dan ubi jalar atau umbi-umbian (uwi kaju dan ndora, rose dan lain-lain), giginya menjelma menjadi jagung (jawa), rambutnya menjelma menjadi jagung solor (lolo wete) serta jantungnya menjelma menjadi pisang (muku) dan lain sebagainya. Gunung Kelinida yang menjadi saksi sejarah itu juga sering disebut kelindota karena di gunung (keli) ini telah terjadi pembunuhan terhadap kedua anak manusia dengan cara dicincang (Ndota) menjadi onggokan daging sehingga menjelma menjadi makanan pokok masyarakat Lio-Ende.
III. Pandangan Masyarakat
         Masyarakat Lio-Ende memandang bahwa mitos ini sangat penting. Mitos ini sungguh lahir dan bersumber dari kedalaman cita rasa masyarakat Lio-Ende. Mitos ini juga merupakan  sebuah khazanah  yang menjiwai dan menyemangati masyarakat Lio-Ende, terkhusus bagi para peladang. Kehadiran mitos ini mampu membangkitkan  semangat para generasi penerus agar menghargai hasil karya nenek moyang yang telah dihidupi oleh masyarakat peladang tersebut. Masyarakat Lio-Ende menyadari bahwa dengan kehadiran mitos ini menuntut mereka semua untuk menghargai dan menghormati padi yang menjadi makanan pokok.
         Masyarakat peladang Lio- Ende menghidupi nilai yang tersurat dalam mitos ini. Semangat itu masih ada hingga saat ini. Hal tersebut nampak dalam keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan upacara-upacara/ ritual–ritual yang menyangkut bercocok tanam. Etnik Lio-Ende mempunyai tempat ritual tersendiri yang telah ditentukan sebagai tempat seremoni oleh nenek moyang. Melalui ritual itulah, mereka (Masyarakat Lio-Ende) menjalin dan memulihkan kembali harmoni hubungan kekerabatan, kebersamaan dan solidaritas antar mereka, serta dengan kekuatan adikodrati (supranatural tanawatu).Dalam acara ritual yang menyangkut dengan bercocok tanam biasanya diawali penyiraman darah ayam atau hewan korban lainnya yang layak. Selain amanat tentang upacara dan peralatan upacara penanaman padi, batu kesuburan dan emas untuk "dicampurkan" dalam benih padi, yang diwadahi dengan benga,[3] ada pula amanat lain sebagaimana tertera dalam teks di atas. Amanat yang dimaksudkan itu adalah bahwa bagi semua pewaris dan keturunan antar generasi hendaklah saat melaksanakan tahapan upacara itu: mulai tahapan penanaman, tahapan pemeliharaan atau panen perdana, dan tahapan pemanenan akhir. Secara tegas diperintahkan agar upacara itu dilakukan secara teratur setiap tahun sesuai dengan tata cara atau prosedur tetap dan baku (ritual) untuk mengenang dan menghormati Bobi dan Nombi atas jasa-jasa dan terutama pengorbanan mereka yang rela dan ikhlas, kendati difitnah, dibunuh dan dicincang, hancur, dan "menjelma" serta bertumbuh menjadi tanaman padi; tanaman yang kemudian dapat dibudidayakan, dikembangbiakkan, dan terutama menjadi makanan pokok bergizi tinggi yang paling lezat di antara makanan lainnya. Lebih daripada itu, makanan itu pula yang memiliki fungsi dan nilai sosial-budaya tertinggi bagi komunitas peladang Lio-Ende.
          Bagi masyarakat Lio-Ende, budidaya padi inilah yang tergolong paling tua dari berbagai tanaman yang lainnya. Bagi saya, hal ini nampak dari rumitnya ritual padi sebagai tanda penghormatan dan penghargaan pada jenis tanaman lain. padi (beras) ini merupakan makanan pokok urutan teratas. Dalam masyarakat Lio-Ende, betapa tingginya makna dari beras/ padi tersebut. Padi ini biasanya ditumbuk tangan (manual), bukan penyosohan, dan berasal dari padi ladang asli, itulah yang paling layak disuguhkan saat ritual pati ka (upacara pemberian santapan khusus bagi leluhur ketika ada pesta adat). Hal yang sama dalam kehidupan sosial, juga hanya nasi pula yang layak disajikan kepada tamu agung.
              
IV. Komentar
          Penulis sangat bangga dengan mitos ini karena sungguh lahir dari pengalaman hidup masyarakat Lio-Ende. Mitos tersebut diwariskan secara turun temurun. Mitos ini bukan saja sebagai isapan jempol belaka tetapi mempunyai makna dan nilai-nilai penting yang yang tersurat maupun tersirat yang harus dihidupi oleh masyarakat. Memang, cerita ini hanya sekedar mitos dan sangat mustahil terjadi pada masyarakat tertentu. Tetapi itulah mitos yang terjadi dan masyarakat telah mempercayai hal itu. Nilai mitos tersebut sudah mendarahdaging dalam diri para peladang Lio-Ende. Oleh karena itu, berbagai upacara yang menyangkut mitos ini harus dilaksanakan oleh masyarakat Lio-Ende. Sebagai masyarakat yang berbudaya hendaknya mencintai mitos ini sebagai penghargaan atas hasil karya para leluhur. Saya, sebagai putra yang dilahirkan dan dibesarkan dalam budaya masyarakat Lio-Ende dan sudah menghidupi nilai–nilai dan mitos tersebut, seharusnya saya mampu memaknai dan melestarikan makan mitos tersebut. Tujuan mitos ini adalah mengajak masyarakat untuk senantiasa menghargai dan menghormati semua hasil ciptaan Tuhan, seperti padi.
V. Nilai-Nilai Yang Terkandung
v Nilai pengorbanan diri bagi sesama
          Mitos ini mempunyai makna bahwa sesuatu yang memiliki nilai tinggi, misalnya nasi, beras, dalam komposisi dan pola makanan suatu komunitas etnik tertentu, atau yang secara sosio-fungsional mengandung makna dan nilai tertentu, menjadi simbol dan reprentasi nilai dasar berkorban dan pengorbanan bagi sesama. Dalam konteks ini, pengorbanan yang dimaksudkan adalah pengorbanan sepasang manusia ( Bobi dan Nombi) yang rela dibunuh dan dicincang atas dasar fitnahan melakukan perbuatan mesum kendati belum dapat dibuktikan oleh hukum dan peradilan adat. Pengorbanan jiwa-raga mereka dalam konteks mitos ini, yang melalui penjelmaan mistis, jelas dimaknai sebagai pengorbanan diri demi kehidupan orang banyak yang kelaparan karena kemarau panjang.
v Nilai cinta kasih
          Nilai ini memang sangat ditekan oleh ajaran agama Kristen yang merupakan hukum yang universal. Setiap pribadi hendaknya memiliki nilai ini dalam diri dan nilai tersebut dihidupi dan direalisasikan  dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam  mitos ini saya melihat ada nilai yang terkandung didalam yakni cinta kasih, walaupun tidak tersurat. Nilai ini tampak pada pemberian diri mereka. Karena cinta kasih mereka kepada warga kampung tersebut yang akan kematian kelaparan, mereka pun rela menjadi korban, rela memberikan diri mereka bagi sesama yang kemudian menjadi makanan pokok masyarakat Lio-Ende dan sekitarnya.
  VI. penutup  
Masyarakat Lio-Ende merupakan  masyarakat ritual yang memiliki begitu banyak tradisi ritual dalam berbagai fase kehidupan manusia. Sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat Lio-Ende yang umumnya merupakan petani subsisten ladang kering. Dalam setiap rangkaian upacara pertanian sesuai dengan saat-saat kritis pertumbuhan tanaman, yakni: tahap menebas hutan, tahap membakar hutan, tahap menanam, tahap pertumbuhan padi, tahap panen perdana, dan tahap panen akhir, mereka selalu  melaksanakan upacara. Dengan berbagai tahapan memiliki ritus tersendiri yang memiliki fungsi dan berkaitan erat tujuan tertentu.
Dalam masyarakat tradisional, perilaku-perilaku  ritual umumnya dapat dijelaskan dengan istilah-istilah mitis. Mitos memberikan pembenaran untuk berbagai upacara. Sekalipun              ada kemungkinan  bahwa banyak ritual pada masa silam berlaku tanpa mitos-mitos, akan tetapi        pada tingkat perilaku manusia dapat diamati dua fenomena: ritus dan mitos. Hal ini berjalan    seiring. 
 Mitos  padi ini menurut etnik Lio-Ende memang bersifat sakral  sehingga masyarakat        sangat menghormatinya. Karakteristik mitos terletak pada kenyataan bahwa mitos ini mengacu    kepada kejadiaan pengorbanan itu. Di mana manusia menyadari dan menjelaskan esensi mutlak         dari keberadaannya dan sekaligus memberikan kesatuan makna bagi masa kini, masa lampau,   dan masa yang akan datang.  Maka mitos padi ini sesungguhnya merupakan pernyataan atas     suatu kebenaran yang lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih         dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif.

تعليقات