HANGA ATA LISE

Hanga (Kanga) adalah sebidang halaman berbentuk lingkaran yang terbuat dari susunan batu kira-kira setinggi satu meter. Lingkaran itu bergaris tengah sekitar sepuluh meter. Susunan dinding batu itu dibeberapa kampung terputus oleh beberapa tangga batu, sedangkan ditempat lain tangga-tangga itu lansung bersandar pada dinding hanga. Salah satu dari pintu masuk kehanga tersebut mengarah kerumah Mosalaki, atau Riabewa atau pendiri kampung atau juga pemilik tanah tertentu yang dikhususkan untuk mendirikan rummah disitu. Dikampung-kampung lain, susunan batu yang berbentuk lingkaran seperti itu berada diatas sebidang tanah yang berbentuk segi empat dengan dinding batu disekitarnya, atau terdapat juga dikampung-kampung lain dua lingkaran, satu diatas yang lain, dimana ukuran lingkaran yang berada dilapisan bawah lebih besar.
Biasanya Heda (Keda) berada disebelah kanan dari rumah mosalaki atau pendiri kampong, sedangkan Bhaku berada disebelah kiri dari rumah tersebut. Ditengah lingkaran tersebut dipasang sebuah Dissolith yaitu sebuah batu lonjong yang tegak, dan disampingnya ditempatkan sebuah batu kecil. Kedua batu tersebut nampaknya seperti seorang ibu dan anaknya. Dissolith itu namanya Musumase atau Tubumusu. Didepannya terdapat sebuah meja batu diatas empat kaki. Di beberapa kampung sering terdapat sebuah tiang kurban dari kayu yang ditancapkan disampingnya yang dinamakan Atu atau Atu Ndopo. Ada juga yang mengganti tiang kayu dengan sebatang bambu. Diatas Atu tersebut, diletakan sebuah batu ceper kecil sebagai tempat untuk membawah persembahan bagi Tana watu dan Du’a Ngga’e. Selain Musumase yang besar yang berada ditengah lingkaran, dikampung-kampung lain terdapat lagi beberapa dissolith kecil didekat dinding lingkaran, yang dinamakan Mase. Didalam, dibawah dan disamping dinding lingkaran itu orang kaya, orang terkemuka dan tua-tua adat dikuburkan.
Kalau tanah tempat akan didirikan hanga (kanga) tersebut miring, maka pertama-tama tempat itu harus diratakan. Pembuatan lingkaran dinding batu yang terbagi atas empat bidang, dilaksanakan berdasarkan musyawara antara tua-tua adat yang berasal dari empat kelompok masyarakat yang masing-masingnya mempunyai bagian dari hanga tersebut. Orang-orang terkemuka dari kelompok tersebut kemudian akan dikuburkan disitu. Setelah perembukan bersama, semua orang berarak menujuh tempat pengambilan batu. Sebelum mulai memecahkan batu, mereka mereciki dinding batu tersebut dengan darah babi sembelihan, supaya pada waktu mereka memecahkan batu tersebut, mereka dapat memperoleh batu ceper yang baik. Batu-batu ceper tersebut akan digunakan sebagai tembok dinding hanga. Sedangkan Musumase (Batu lonjong) harus lebih dahulu diperciki dengan darah kerbau atau sekurang-kurangnya darah babi sebelum orang memikulnya kekampung.
Pada waktu hendak dipikul kekampung, Musumase harus dibungkus dengan kain selendang (Dalam bahasa Lio disebut “Luka”) atau sarung (Lawo atau Ragi) yang terindah dan terbaik. Orang meletakan musumase diatas palangan bambu kemudian memikulnya hingga sampai kekampung. Sepanjang perjalanan kekampung, orang-orang harus bernyanyi dan menari sesuai tradisi setempat. Seorang wanita menari ditengah-tengah para penari lain dalam arakan tersebut sambil memegang sebuah pedang atau parang. Setibanya dikampung, sebuah upacara besar (Semacam pesta) dirayakan dengan penyembelihan hewan dan sebagainya. Semua orang yang hadir disitu mendapat makanan dan minuman. Makanan yang dihidangkan adalah nasi, daging, minuman arak serta siri pinang. Sementara upacara berlangsung, orang-orang terus menari sedangkan mosalaki serta petinggi adat lainnya duduk disekeliling batu yang baru dipikul tersebut.
Sebelum batu tersebut didirikan ditengah-tengah hanga (kanga), terlebih dahulu orang harus menggali lubang dan membuat dasar yang kuat. Kedalam lubang itu, menurut kebiasaan masyarakat setempat yang berbeda-beda, orang harus menaruh empat butir beras, yang lain menaruh sepotong besi dan sebuah batu hitam (Granit) agar hanga (kanga) menjadi kuat seperti besi dan keras seperti batu, atau seorang budak, atau seorang anak yang diculik dikuburkan hidup-hidup didalam lubang itu. Biasanya heda (keda) pun dibangun atas dasar serupa.
Umumnya pada jaman dahulu kala, tak sulit memperoleh beras, batu, besi dan bahkan seorang hamba. Tetapi bagaimana caranya mereka mendapatkan seorang anak ?? Beginilah caranya, pertama-tama, para sesepuh adat duduk berkumpul untuk berembuk tentang cara menculik seorang anak kecil. Setelah sepakat, mereka menugaskan seseorang untuk melakukan tugas penculikan tersebut. Orang tersebut pergi ketempat yang jauh dengan membawah kue,pisang atau makanan yang enak. Dengan senang hati dia menyelinap dan menunggu dikampung lain sampai seorang anak kecil datang mendekat. Setelah menemukan seorang anak kecil, orang itu pura-pura menawarkan bahan makanan tadi dan langsung menangkapnya dan membawahnya pergi. Anak itu lalu dipelihara dengan baik agar ia melupakan kampong halamannya, orang tuanya, dan supaya ia tidak menangis sampai saat musumase didirikan.
Perayaan pendirian musumase berlangsung beberapa hari. Pada awal dari pesta itu, api dinyalakan disamping hanga, api itu tidak boleh padam selama pesta itu berlangsung. Sementara itu, gong dan gendang (Tambur) dibunyikan terus menerus, orang-orang bermain, menari sambil melompat kesana kemari. Mereka juga mendapatkan makan dan minum berulang kali. Semua orang yang hadir dipesta tersebut mengenakan pakaian yang bagus. Tua-tua adat misalnya, mengenakan pakaian yang indah, dengan perhiasan kalung, emas, anting-anting, gantungan dada dan sebagainya.
Ketika tiba saatnya musumase didirikan, mereka menggali sebuah lubang yang cukup dalam dan didasarnya diletakkan sebuah batu ceper. Anak yang diculik tadi dijemput ketempat tersebut dan ditempatkan hidup-hidup didalam lubang yang sudah disiapkan itu. Ia mendapatkan sedikit nasi, emping, kue,dan sepiring daging. Anak itu dirayu dan ditipu supaya ia tidak mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya. Sementara ia menerima pemberian itu dengan rasa gembira hati, tiba-tiba sebuah batu ceper besar dilemparkan keatasnya dan anak tersebut dikubur tatkala masih hidup. Sementara anak itu tertindis dan terkubur disitu, orang-orang yang hadir disitu mulai menari sambil melompat-lompat dengan liarnya sampai debu beterbangan hinga mereka hamper tak bias melihat satu sama lain. Hanga sekarang dianggap bhisa gia artinya sangat keramat; hanga menjadi jaminan kesejahteraan dan berkat bagi seluruh masyarakat dikampung itu. Para pemuka adat secara khusus sangat mengharapkan berkat dan anugerah yang paling besar dari hanga tersebut.
Sesudah itu, sebuah perayaan peresmian diadakan lagi, yaitu sebuah kesempatan dimana mereka menyembelih banyak kerbau, kuda, babi, anjing dan lain-lain untuk pesta santapan besar. Sementara itu, persembahan berupa daging babi, emping, pisang, siri pinang dan tembakau dibawahkan para sesepuh adat mengucapkan suasasa (Doa dalam bahasa Lio) yang berbunyi:
Kami wela dowa wawi ina, - Kami sudah menyembelih babi ini,
Tau lobo kau ina. – Untuk meresmikanmu
Wawi ate ji’e, - Semoga hati babi ini baik,
Jala molo we’e. – Lipatan lurus.
Kemudian mereka meletakan daun pulu keatas babi tersebut dan memeriksa hatinya. Kalau hati babi itu baik, lipatannya lurus; tanda itu menjanjikan kebahagiaan dan keuntungan, kama mereka akan memaklumkannya dengan gembira. Tetapi dikampung atau tempat lain, barang lain lagi yang dikurbankan: kepala kerbau, kepala kuda, daging babi, dan arak yang diisi dalam seruas bambu untuk libasi. Bahan persembahan ini ditaruh diatas batu ceper di musumase.
Hanga dan heda adalah tempat yang paling suci diwilayah kebudayaan orang-orang Lio. Orang Lio kerap berkata: “Keli wolo kita, olanegi kita leisawe”, (Gunung dan bukit kita adalah kekuatan hidup kita semua). Peristiwa-peristiwa yang paling penting dalam hidup orang Lio, selalu diurus dan dirayakan ditempat itu. Misalnya, pada waktu musim kering dan peceklik yang berkepanjangan, mereka membawahkan doa dan persembahan disana. Untuk maksud ini, tua-tua adat berkumpul di hanga, menyembelih seekor hewan kurban, mencampuri banyak air, tanah dan kotoran babi dan mulai melempar satu sama lain dengan campuran tersebut. Perbuatan ini akan menarik hujan dari langit. Juga saat-saat susah, dalam peperangan, wabah penyakit, dan penyakit pada umumnya, khususnya penyakit yang menimpa tua adat dan anak-anaknya, mereka selalu mencari perlindungan di hanga dan membawahkan persembahan.
Kebanyakan pesta-pesta adat dirayakan di hanga dan tak ada pesta tanpa tari-tarian. Karena tarian dianggap sebagai tindakan religius; dan karenanya, tempat pelaksanaannya adalah di hanga. Selain itu, hanga berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi kepentingan-kepentingan bersama atau kepentingan yang bersifat pribadi. Pada waktu petemuan itu, mosalaki sebagai pemimpin adat duduk di musumase, sedangkan sesepuh adat yang lain duduk disekeliling susunan lingkaran batu atau diatas kubur-kubur. Menurut keterangan beberapa narasumber, keadaan hanga harus selalu bersih, baik dan kuat supaya dapat memberihkan kekuatan magis pada kampung itu. Akan tetapi, jaman sekarang ini, kebanyakan hanga terlihat kotor dan amat tidak terawat. Terimakasih

تعليقات