Masyarakat Kabupaten Ende bersifat majemuk.
Kemajemukan itu secara khusus sangat jelas mewarnai masyarakat Kota Ende dan
juga beberapa kota
kecil di Kecamatan Wolowaru, Kecamatan Nangapanda, dan beberapa daerah pesisir
utara dan selatan. Warga Kota Ende terdiri atas beragam suku bangsa dengan
mayoritas etnik-etnik sedaratan Flores, Lembata,
dan Nusa Tenggara Timur, NTT, utamanya Etnik Lio-Ende (lihat Sunaryo, dkk. 2006).
Sebagai masyarakat yang terbuka, masyarakat Lio-Ende sejak beberapa abad silam,
terutama sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia, menerima warga Indonesia
dari pelbagai wilayah Nusantara dan menjadi warga Kabupaten Ende. Perkembangan
agama Islam dan Katolik juga menghadirkan para agamawan dan missioner dari
Eropa dan Arab. Demikian pula kehadiran zending, gereja Kristen Protestan telah
menghadirkan pula agamawan Kristen Protestan dari luar Flores seperti Roti,
Sabu, dan Manado.
Kaum birokrat negara pada instansi-instansi juga telah menghadirkan sejumlah
warga bangsa Indonesia
dari pelbagai etnik di Nusantara. Sementara itu, dunia niaga telah melibatkan
warga Indonesia keturunan Tionghoa yang memperkaya kemajemukan penduduk Kota
Ende khususnya dan Kabupaten Ende umumnya, selain keturunan Arab yang juga
mengemban tugas perniagaan. Perlu ditambahkan bahwa Etnik Bugis. dan Makassar,
selain hadir dengan sentuhan dunia niaga sejak ratusan tahun silam, juga
menghadirkan budaya kebaharian. Unsur-unsur budaya Bugis dan Makassar yang
hadir melalui Kerajaan Goa dan Bima, telah mewarisi tata tulis yakni aksara Lota
Ende.
Dalam lingkup
keetnikan, asal-muasal Etnik
Lio-Ende, sebagaimana terekam dalam tradisi lisan mereka, dapat
dipaparkan secara singkat berikut ini. Secara geneologis, penduduk Kabupaten
Ende yang diidentifikasikan sebagai penduduk asli atau yang diasumsikan sebagai
kerabat awal yang mendiami wilayah itu dikisahkan dan dimitoskan, berasal dari
dua orang bersaudara yang yatim piatu, Lepe dan Mbusu (band.
Wouden, 1985: 93), Nama Lepe, lelaki, dan Mbusu, perempuan,
keduanya itu kemudian menjadi pasangan suami-istri. Pasangan Lepe dan Mbusu
inilah yang menurunkan Orang Lio-Ende yang sekarang ini. Ke-12 anak Lepe
dan Mbusu itu adalah (1) Unggu, sang putra sulung yang dengan
anak cucunya mendiami wilayah Unggu, Nuapu, Wologai, dan Wolomuku; (2) Nggesa,
dengan anak cucunya tinggal di wilayah Nggesa, Ndetumbewa; (3) Mbele,
dengan keturunannya tinggal di Nggesambiri, Watunggere, Wolobalu, dan Wumbu;
(4) Sega, dengan anak cucunya tinggal di wilayah Nida, Niopanda, dan
Tanaria; (5) Papu, dengan anak cucunya tinggal di kawasan Moni,
Ko'anara, dan sekitarnya; (6) Pera, dengan anak cucunya tinggal di
Wolopau, Tenda, Nggela, (7) Sega dan (8) Tani masing-masing
dengan anak cucunya tinggal di Lise, (9) Sari, dengan
anak cucunya tinggal di Nuaone dan
Detubuga; (10) Lemba dengan anak cucunya tinggal di Jopu dan Mbuli; (11)
Rongge dengan anak cucunya tinggal di Ende dan sekitarnya; dan (12) Rangga
dengan anak cucunya tinegal di Nangapanda, wilayah barat Kabupaten Ende.
Keduabelas anak dari keturunan Lepe dan Mbusu itulah yang
kemudian menjadi Tuan Tanah atau Mosalaki, penguasa adat di wilayah
Lio-Ende hingga sekarang ini. Dapat diasumsikan pula bahwa sebelum dan sesudah
kehadiran Lepe dan Mbusu dengan keturunannya itu, diperkirakan
sudah ada pula keturunan lainnya, berkaitan dengan gerak penduduk dari wilayah
asal Austronesia, yang oleh para ahli Austronesia berasal (homeland) di
daratan Asia Selatan (Bellwood, 2003; Kern, 1823), selain dari arah timur
Polinesia (Capell, 1957). Evidensi arkeologis berupa fosil-fosil berupa
tengkorak manusia raksasa di Lia Natania, Ngada yang dikenal dengan Proto
Negrito Florensia juga membuktikan kemajemukan asal muasal Orang Flores,
termasuk penduduk Lio-Ende.
Jikalau subetnik
Ende dikenal dengan "Orang Ja'o, di kawasan terbarat Kabupaten Ende
dihuni pula oleh Subetnik Nga'o. Ciri ragawi manusia Lio-Ende yang unik,
seperti juga Flores umumnya yang berkulit hitam dengan rambut hitam kriting di
sisi berkulit putih dan sawomatang berambut ikal dan lurus, menjadi tanda-tanda
kemajemukan asali mereka. Flores, secara khusus Flores tengah adalah
daerah pertemuan dua ras besar, Austronesia yang
Mongoloid dan Negrito. Penelitian lanjutan secara lebih mendalam dan tuntas,
diharapkan dapat menemukan fakta
kesejarahan ikhwal asal-muasal dan perkembangan penduduk Lio-Ende dan Flores
umumnya.
Melalui
temali genealogis keduabelas keturunan, selain dari keturunan lainnya itulah
yang membangun satuan komunitas dan kekerabatan Lio-Ende. Mereka menguasai
tanah ulayat, tanah persekutuan yang menjadi wilayah terbesar Kabupaten Ende
setakat ini. Nama kedua leluhur itu diabadikan menjadi nama gunung tertinggi
(1500-an meter dpl) di Kabupaten Ende, Gunung Lepembusu. Syair lagu Lepembusu
ghele keli mila, lagu rakyat Lio Ende, juga turut memasyhurkan nama
asal-muasal mereka. Keturunan itulah yang disebut keturunan Ananggoro
(Mbete et al. 2006: 1).
Selain
secara administratif mendiami wilayah Kabupaten Ende, Orang Lio-Ende, jika
dicirikan oleh bahasa dan budaya Lio, juga mendiami dua kecamatan di wilayah
Kabupaten Sikka, yakni di Kecamatan Paga dan Kecamatan Mego. Fakta bahasa dan
kebudayaan Lio-Ende memang menyebar hingga di kawasan Nangablo, Sikka barat dan
di daerah Keborea, Ngada utara-timur. Hal ini menunjukkan bahwa Orang Lio-Ende
memiliki wilayah hidup yang cukup luas di Flores Tengah.
Identitas sebagai Orang Lio-Ende itu memang tampak
nyata pada bahasa, adat istiadat, dan sejumlah unsur kebudayaan lokal umumnya.
Sudah tentu wilayah tanah warisan leluhur mereka, baik tanah yang diwariskan
begitu saja karena digunakan sebagai lahan garapan turun-
temurun yang dalam budaya Lio-Ende disebut tana nggoro, atau juga tanah
yang dimiliki melalui perebutan dan perjuangan yang disebut tana godo,
adalah juga temali perekat kesatuan mereka (lihat Bachtiar, 1981: 4-5).
Kelompok Etnik Lio yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Ende dan dua
kecamatan di Kabupaten Sikka, Paga dan Mego, menggunakan bahasa Lio atau sara
Lio dengan dialek-dialeknya pula, sedangkan Subetnik Ende di Kota Ende dan
sekitarnya, menggunakan dialek Ende atau sara Ende. Variasi dialektal
dan juga unsur-unsur subkultur menandai perbedaan antara kcdua subetnik itu,
seperti juga halnya antara dialek-dialek dan subkultur Lio. Perbedaan lingual
itu bersifat dialek karena jikalau Orang Lio dan Orang Ende berkomunikasi
dengan bahasa atau dialeknya sendiri-sendiri, kedua penutur itu masih cukup
saling memahami (mutually intelegibility). Banyak orang Lio yang relatif
dapat ber-sara Ende, demikian pula sebaliknya. Di daerah perbatasan dengan
Ngada, juga masih di wilayah administrasi Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende,
seperti telah disinggung di atas, ada pula subetnik Nga'o yang
menggunakan bahasa atau dialek Nga'o. Identifikasi kebahasaan dan
keetnikan ini jelas membutuhkan penelitian khusus pula.
Selain dicirikan oleh bahasa
yakni sara Lio, sara Ende atau sara Ja.'o, dan sara Nga'o,
Orang Lio-Ende juga memiliki dan menunjukkan adat-istiadat yang relatif berbeda
dengan Orang Sikka dan Orang Ngada, bahkan juga dengan Orang Larantuka, Orang
Lembata, dan Orang Manggarai. Unsur-unsur mahar atau belis dalam
adat kawin-mawin agak membedakannya. Salah satu contoh adalah bentuk belis, mas,
yang kini mulai diganti dengan uang, adalah ciri mahar (mas kawin) bagi Etnik
Lio-Ende, sedangkan gading berlaku dalam adat Sikka dan Larantuka. Kendatipun
ada perbedaan, persamaan pada segi hewan dan uang pengganti emas dan gading
semakin marak, di sisi kesamaan sistem patrilineal dan sebagian matrilineal,
perubahan, perbauran dan atau penyesuaian dengan kondisi ekonomi dan perubahan
nilai, mulai menggejala kuat pada masyarakat Flores. Pernikahan pasangan beda
suku, baik antarsuku di Flores dan sekitarnya maupun dengan suku-suku lainnya di
Indonesia, telah menjadi kekuatan perubahan sistem, terutama penyesuaian yang
dimaksudkan itu. Intensitas dan ekstensitas perbauran karena pernikahan
lintasetnik yang semakin marak dewasa ini dapat disimak terutama di
daerah-daerah perbatasan Lio-Sikka, Lio-Ende-Ngada, dan tentunya pada
masyarakat Kota Ende.
Budaya religi dan struktur
kekerabatan sebagai Orang Lio-Ende juga masih menunjukkan entitasnya yang juga
tetap memperlihatkan perbedaannya dengan etnik-etnik lainnya di Flores.
Demikian pula busana lokal keetnikan dengan motif tenun ikatnya menunjukkan
pula keunikannya. Dalam hal seni musik, lagu-lagu Lio-Ende memiliki kekhasan
yang menarik banyak orang dan dikenal luas tidak hanya di Flores melainkan juga
di banyak sudut Nusantara. Gawi, tari sakral yang biasanya menyatu
kehadirannya secara kontekstual dengan sejumlah ritual perladangan dan
sosial (wake laki, pelantikan atau pemakaman tetua adat, menempati rumah
adat utama), dewasa ini telah mengalami juga proses profanisasi, menjadi tarian
keakraban dalam resepsi pernikahan, penerimaan komuni pertama, dan pentabisan
imam baru. Hal yang sama berlaku juga pada tarian ja'i dalam masyarakat
Ngada.
B. Tatanan Sosial Tradisional dan Gejala
Perubahan
Masyarakat
Kabupaten Ende yang terdiri atas dua etnik utama, Etnik Lio dan Etnik Ende,
serta satu etnik kecil, Nga'o merupakan pilar
demografi yang membangun struktur masyarakat Lio-Ende sejak dulu hingga
dewasa ini di sisi etnik-etnik lainnya. Gambaran kemajemukan itu, seperti telah
diuraikan di atas, sangat jelas pada masyarakat Kota Ende. Sebagaimana
karakteristik kependudukan kota-kota lainnya di
Indonesia dan di mana pun, penduduk Kota Ende didominasi oleh Orang
Ende, Orang Lio, Orang Larantuka, Orang Manggarai, Orang Ngada, Orang Sikka,
Orang Lamaholot, Orang Sabu, Orang Rote, dan sejumlah warga dari Etnik Jawa,
Cina, Arab, dan juga etnik-etnik lainnya. Di daerah pedalaman dan pedesaan,
penduduknya terdiri atas Orang Lio dan Orang Ende yang merupakan penduduk
"asli" Lio-Ende, dikenal juga sebagai masyarakat tradisional
Lio-Ende.
Sebagaimana
juga masyarakat lainnya di daratan Flores dan sekitarnya, masyarakat
tradisional di Kabupaten Ende secara umum
adalah komunitas petani-peladang. Di
kawasan pesisir utara dan selatan, masyarakatnya tergolong pelaut dan juga
peladang. Sebagai suatu komunitas, di dalamnya ada bangunan sosial atau strata
sosial, ada pertingkat-tingkatan sosial tradisional. Kriteria ekonomi dalam hal
ini permilikan tanah garapan atau lahan garapan (pemilik tanah banyak atau
luas, sedang, dan sedikit, bahkan ada yang tidak memiliki lahan sama sekali),
kriteria politik (ada kelompok penguasa dan bawahan atau rakyat umumnya),
kriteria akses dan kesempatan hidup (lahir dari keluarga atau keturunan
bangsawan, atangga'e dan orang kebanyakan) dan kriteria sosio-religi.
Yang terakhir ini jelas ada kelompok rohaniwan, agamawan dan kelompok awam atau
umat kebanyakan di jenjang bawah. Kendati bertumpang tindih bahkan sulit
dijelaskan batas-batasnya, dalam struktur atau bangunan sosial itu memang
terjadi pemilahan dan pemisahan (segregasi) sosial.
Masyarakat Lio-Ende
mengenal pembedaan kelas dan kelompok sosial. Ada dua lapisan atau kelas sosial
utama yakni lapisan atas dan lapisan bawah. Lapisan atas merupakan kelompok
pemimpin informal, kelompok yang memiliki pengaruh besar atas kehidupan
masyarakat. Kelompok inilah yang secara tradisional merupakan pemimpin adat dan
lembaga tradisional yang diwarisi turun-ternurun. Dalam masyarakat Lio-Ende,
lapisan atas ini lebih dikenal dengan kelompok mosalaki, atangga'e, ataria
"tuan tanah", pembesar atau penguasa berbasiskan
tanah adat, mendiami, dan menguasai Sa'oria
Tendabewa atau Sa'opu'u, "rumah adat utama".
Di
bawah kelompok atau lapisan elite tradisional itu, ada kelompok khalayak
umumnya yang dikenal sebagai anakalo faiwalu. Secara harafiah ata
faiwalu anakalo adalah kelompok janda-janda dan yatim piatu. Makna yang
umum dan mendasar dari faiwalu anakalo adalah lapisan atau kelompok
sosial di luar mosalaki (juga riabewa), yakni masyarakat umumnya.
Di dalamnya termasuk kerabat luas atau aji ana. Dalam pemahaman
masyarakat setempat, aji ana adalah warga sekerabat atau anggota
masyarakat yang dikaitkan dengan kelompok yang berkekurangan atau yang sejarah
dan nasib hidupnya ditebus atau dijamin oleh orang lain, semacam orangtua asuh
atau majikan. Inilah kelompok terbesar dalam masyarakat tradisional Lio-Ende.
Sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia, dikenal pula kelompok tertentu
yakni ata ko'o, para budak, orang-orang suruhan. Namun, dewasa ini
konsep itu telah pudar dan menghilang. Semangat kesederajatan atau kesetaraan
mendesak sikap feodalisme dan diskriminatif itu.
Tatanan
sosial asli dalam masyarakat di Kabupaten Ende seperti yang diuraikan secara
singkat di atas memang masih ada secara nyata dalam kehidupan komunitas
petani-peladang Lio-Ende. Hingga sekarang masyarakat tetap menempatkan elite
tradisional mosalaki, termasuk riabewa yang secara khusus ada di
wilayah tanah persekutuan Lise
Tana Telu, sebagai kalangan atas, sebagai pemimpin, pengayom, dan
penata kehidupan sosio-kultural perladangan dengan sa'opu'u dan saa'oria
tendabewa sebagai pusat. Kedudukan dan fungsi mosalaki memang
tetap diakui dan dipelihara terutama dalam kaitan dengan adat istiadat,
ritual-ritual adat dalam kehidupan perladangan, termasuk dalam penyelesaian
sengketa tanah dan pertikaian sosial. Selain itu dalam ritual peletakan batu
pertama pembangunan rumah adat dan rumah-rumah rakyat serta bangunan publik
lainnya, para mosalaki setempat tetap hadir dan berperan. Kendati telah
ada gejala penurunan wibawa, namun legitimasi kelompok sosial atas ini masih
tetap kuat. Perlu ditambahkan bahwa kendati sejak zaman kemerdekaan Republik
Indonesia nuansa egaliter muncul, namun wibawa dan posisi lapisan atas itu
tetap hadir, diakui, dan masih tetap dibutuhkan oleh masyarakat lokal. Hal ini
sangat terkait dengan hakikat pemaknaan tanah garapan
dan hubungan kosmologis masyarakatnya.
Paparan sekilas tentang tatanan
masyarakat Lio-Ende di atas adalah kenyataan yang memang masih hidup secara
tradisional di tengah adanya kelompok sosial baru seperti para pengusaha,
pedagang, ahli bangunan, para guru dan pegawai desa, dan kelompok fungsional
lainnya. Harus diakui bahwa bangunan sosial kemasyarakatan Lio-Ende setakat ini
sudah berubah, termasuk tatanan tradisionalnya. Hak mewarisi jabatan
kelembagaan tradisional mosalaki, termasuk riabewa di beberapa
wilayah tanah persekutuan, sebagai hak kesulungan, tidaklah selalu mulus,
linear, dan prosedural, di antaranya juga disesuaikan dengan kondisi penguasa.
Sudah tentu dalam tatanan sosial baru ini, elite lokal yang di dalamnya
termasuk pejabat pemerintahan dari tingkat kabupaten, kecamatan, dan
desa/lurah, demikian juga para pemimpin agama (pastor, guru agama atau katekis,
dan para haji-hajah), menempati posisi sosial tersendiri. Di antara mereka
termasuk kelompok atas yang berbeda dengan kelompok umat dan atau para
petani-peladang umumnya. Kelompok pedagang dan pebisnis, yang sebagiannya
tergolong Etnik Tionghoa dan Arab sebagai unsur dominan, masuk dalam kategori ini
dan menjadi bagian dari bangunan masyarakat Lio-Ende pula. Dalam struktur itu,
lapisan penguasa tanah, mosalaki, termasuk riabewa di wilayah
tanah persekutuan tertentu seperti Lise Tana Telu di Lio Timur, masih bertahan
kuat sebagai elite atau petinggi tradisional.
Sebagai bagian
terbesar dari masyarakat Lio-Ende, komunitas petani-peladang layak dibahas
secara khusus. Kaum petani-peladang dengan karakteristik kehidupan mereka yang
cukup homogen dan "menyatu" dengan lahan garapan itu mendiami
perkampungan-perkampungan asli yang disebut nuaola, kopokasa. Setiap
satuan kekerabatan yang mendiami nuaola yang bersifat genealogis dalam
satuan komunitas itu menguasai suatu kawasan tanah adat dengan pusat di Sa'opu'u
di kampung utama, Nuapu'u. Rumah-rumah kediaman mereka umumnya
melingkari bebukitan dengan pola tertentu.
Perlu
diuraikan pula bahwa lahan garapan juga dapat menempati wilayah tanah
persekutuan lain sehingga mereka selalu menyesuaikan pula ritual-ritual yang
berkaitan dengan perladangan di wilayah tanah persekutuan itu. Komunitas
petani-peladang yang mendiami nuaola tertentu umumnya berasal dari suatu
keturunan yang biasanya diperluas melalui sistem perkawinan yang endogen dan
eksogen. Mereka mendiami rumah-rumah beratapkan ilalang kendati kini, scbagian
rumah penduduk kampung telah beratap seng. Kampung-kampung di Lio-Ende
berukuran kecil, sekitar 20-30 keluarga, sedang, dan besar dengan jumlah
ratusan rumah dan keluarga batih. Sebagai contoh, Kampung Nggela di Kecamatan
Wolojita tergolong salah satu contoh kampung besar dengan lebih dari dua-tiga
ratus rumah dan kepala keluarga (KK). Beberapa kampung besar lainnya adalah
Kampung Jopu-Ranggase, sedangkan kampung-kampung berukuran sedang misalnya
Watuneso, Wonda, Ma'ubasa, Lunggaria, Masebewa (Ndori), Watunggere, Wolotopo,
Wologai, Sokoria, Roga, dan sebagainya.
Semua kampung yang dicontohkan di atas
tergolong kampung tua dengan tradisi megalitiknya yang masih tegar bertahan.
Tembok penopang pelataran suci yang disebut kanga, dibangun dengan bahan
dasar batu. Pusara leluhur dan makam-makam para nenek moyang dan kerabat
lainnya, di antaranya berbentuk dolmen, adalah batu-batu besar hitam-ceper
masih sangat kuat terwaris dan terpelihara. Pada setiap ritual penting atau
dalam situasi tertentu, makam-makam itu diziarahi oleh anak cucunya. Makam
leluhur itu umumnya terletak di tengah kampung, di dalam lingkungan kanga.
Ada pula makam yang ditempatkan di depan rumah di samping di pinggir kampung.
Dalam sistem religi asli Lio-Ende, hubungan secara rohani dengan orang yang
sudah meninggal tetap erat kendati secara ragawi berpisah. Para leluhur yang
sudah meninggal, baik yang dimakamkan di dekat rumah kediaman mereka maupun di
lokasi lain, diyakini selalu memantau, menjaga, dan menuntun kehidupan mereka.
Pertanda kedekatan hubungan mereka secara rohani dengan orang yang sudah
meninggal itu terwujud dalam ritual Pati Ka "mempersembahkan
makanan kepada leluhur mereka" baik di sudut kanan rumah (wisu nggana)
maupun di makam.
Sebagian besar
kampung asli di Lio-Ende menempati punggung dan lereng bukit. Perang suku pada
masa lalu atau perang antarwilayah tanah persekutuan untuk berekspansi
memperluas lahan garapan, merupakan salah satu faktor pendorong utama yang
menentukan mereka memilih punggung bukit sebagai lokasi pemukiman yang
strategis. Dari atas bukit itulah mereka dapat memantau dan menghadapi musuh.
Cara memberi nama (ethnography of naming) yang khas itulah yang
memunculkan nama-nama kampung di Lio-Ende yang menggunakan formatif wolo-,
bahkan juga di Ngadha dan Sikka. Sebagai contoh: woloboa, wologai, wolojita,
wolosoko, wolomude, wolomuku, wolokoli, wolomage, wolonawa, wolonio, wololanu,
wolosoko, wolotopo,wolowaru. Berkaitan dengan tradisi batu, bentuk batu
juga menjadi formatif. Sebagai contoh ada nama kampung-kampung seperti:
watubewa, watuneso, watunggere, watugana, watusipi, dan sebagainya. Selain di
bebukitan, perkampungan di Lio-Ende juga menempati dataran sehingga muncul
nama-nama kampung: detupera, detuko'u, detusoko, detukeli, detubapa, dan
sebagainya. Seperti dijelaskan di atas, pola melingkar perkampungan asli dengan
ulu dan eko-nya itu berpusat pada lokasi yang sakral tubumusu lodanda
di tengah kanga (pelataran) yang semuanya tampak menyatu dengan keda,
"lokasi musyawarah adat" dan utamanya dengan sa'opu'u,
"rumah adat utama".
Di
sekitar kampung atau nuaola itulah mereka melakukan kegiatan utama
sebagai petani-peladang. Dalam radius 1-5 Km, bahkan juga lebih jauh lagi dari
kampung itu terbentang lahan-lahan yang digarap, masing-masing dengan luas 1-2
hektar. Pada umumnya lahan- lahan garapan itu secara topografi ada yang berada
pada kemiringan hingga 85 derajat. Kondisi topografi yang menantang nyawa itu
jelas membutuhkan keberanian tersendiri sejak membuka hutan pada siklus
tertentu (5-7 tahun), terlebih saat menanam dan menyianginya. Kondisi alam ini
merupakan tantangan tersendiri, dan tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi
mereka yang terbiasa di dataran rendah.
Budaya
perladangan Lio-Ende memang padat dengan ritual atau upacara. Sehubungan dengan
itu, sejak leluhur mereka telah disediakan lokasi khusus sebagai tempat sakral
dilakukannya ritual pembukaan musim tanam yang disebut po'o, ada yang
menyebutnya po'o te'u. Lokasi ritual pembukaan musim tanam itu biasanya
berada di sekitar sungai karena sungai dengan airnya yang mengalir itu akan
digunakan juga sebagai sarana ritual termaksud. Tempat yang dianggap angker itu
juga ditumbuhi tanaman besar, pepohonan tinggi seperti kenari, dan pohon besar
lainnya enau, dan pohon perdu lainnya. Lokasi itu umumnya dilarang untuk disentuh,
baik untuk mengambil kayu bakar, bahan bangunan, atau kebutuhan lainnya.
Komunitas peladang di sekitar itu, baik dari kampung terdekat maupun yang jauh
menggunakan lokasi itu untuk melakukan ritual itu setiap tahun, sesuai dengan
kalender adat dan satuan wilayah ulayat mereka. Melalui ritual di lokasi itulah
mereka menjalin dan memulihkan kembali harmoni hubungan kekerabatan,
kebersamaan, soliditas, dan solidaritas antarmereka, serta dengan kekuatan
adikodrati (supernatural tanawatu.
Tata kehidupan komunitas peladang
merupakan bagian terbesar masyarakat Etnik Lio-Ende, dan Flores umumnya.
Dikatakan demikian, karena di samping komunitas peladang, dalam jumlah
terbatas, ada pula kelompok-kelompok di luar petani-peladang yakni pesawah, petani-pebisnis,
dan sedikit peladang penggarap. Sejak tahun 1980-an, ketika lembaga swadaya
masyarakat, LSM Tananua bersama masyarakat mengembangkan tanaman perdagangan
baru yang produktif seperti cengkeh, kakao, kemiri, dan vanili, banyak lahan
garapan untuk padi lokal dan tanaman lokal penyedia pangan asli yang dicaplok
untuk tanaman perdagangan baru itu. Sejak itu pula perubahan sosio-ekonomi
mulai terjadi dan mengubah sejumlah aspek dalam tatanan budaya perladangan asli
Lio-Ende.
Perubahan
pemukiman dalam kaitan ekologi-demografis juga telah terjadi. Jikalau pada masa
lalu, ketika pertumbuhan penduduk relatif masih rendah, perumahan rakyat dan
perkampungan asli umumnya menempati lereng-lereng dan punggung-punggung bukit
dan gunung, dewasa ini terutama sejak terbukanya isolasi karena tersedianya
infrastruktur seperti jalan-jalan raya baru yang menembusi sekat-sekat ruang
pedalaman Lio-Ende, berubah pulalah orientasi ruang tetap untuk hidup khususnya
rumah tinggal. Pertambahan jumlah penduduk memang menjadi penentu orientasi
ruang tempat tinggal itu. Kampung tradisional dan asli memang masih tampak
kendati kurang terpelihara dan terkesan sepih. Banyak kerabat yang telah
beralih tempat tinggal. Jikalau kampung asli berlokasi agak jauh atau di
ketinggian bukit dan gunung serta jauh dari jalan raya utama, sekarang ini
rumah-rumah kerabat dan keluarga baru umumnya menempati sisi-sisi jalan raya
jalan negara, jalan provinsi, dan bahkan jalan kabupaten yang baru dibuka.
Ruang mukim baru ini merupakan kecenderungan baru (lihat Mbete et.al 2006)
seiring dengan sempitnya lokasi kampung asli dan konflik internal keluarga
batih.
Perubahan
di atas jelas menjadi indikator telah terjadi perubahan sosio-kultural dan
lingkungan pemukiman, sebagaimana juga
perubahan aspek-aspek kebudayaan Lio-Ende
yang lainnya seperti perubahan pola makanan, perladangan, dan transportasi.
Ketersediaan jalan-jalan baru, selain menghadirkan jasa transportasi baru,
telah pula menghadirkan industri jasa angkutan baru berupa ojek hingga
ke pelosok-pelosok Lio-Ende. Jikalau dulu masih terbelit keterbatasan jenis dan
jumlah alat transportasi, hanya truck dan sedan para elite daerah, kini
alat-alat transportasi berkembang dan maju pesat. Minibus dan truck lintaskota
dan lintasprovinsi, telah semakin padat melintasi kawasan-kawasan Lio-Ende yang
secara khusus dilalui oleh jalan negara, sebagian jalan provinsi, dan jalan
kabupaten, serta jalan desa. Banyak truck gandeng dan peti kemas yang
mengangkut aneka komoditas, baik dari luar maupun dari Lio-Ende dan Flores
umumnya berupa hasil buminya. Semuanya ini jelas menunjukkan adanya perubahan
kultural masyarakat lokal. Lancarnya perhubungan laut setelah datangnya
kapal-kapal besar untuk barang dan orang melalui dermaga Ippi dan Ende, serta
beberapa dermaga lainnya di Flores, maupun melalui bandara-bandara di Ende dan
Maumere juga memengaruhi kehidupan sosial-budaya masyarakat Flores dan
Lio-Ende, khususnya kawasan-kawasan yang telah lama dilintasi dan disentuh oleh
infrastruktur dan kemajuan pendidikan.
C. Struktur Permilikan Tanah
Sebagian
besar tanah di wilayah Kabupaten Ende, khususnya dikawasan selatan dan tengah,
memang menjadi ajang dan andalan kehidupan masyarakat
setempat dengan usaha pokok perladangan. Perladangan telah menjadi ikon dan
tumpuan sejak nenek moyang mereka berabad-abad silam. Dengan kata lain,
lingkungan alam yang kaya dengan bebukitan dan pegunungan yang cukup terjal itu
sejak zaman dahulu sudah "ditaklukkan" dengan teknologi perladangan.
Itu pula yang menjadi
latar saratnya ritual perladangan bagi Etnik Lio-Ende. Di samping ladang, sawah
juga menjadi pilihan garapan lainnya yang telah memperkaya cara hidup dan
penghidupan masyarakat setelah budaya sawah diperkenalkan oleh para pesawah
dari Bima pada awal abad ke-20 (lihat Sunaryo et.al 2006). Dengan tata irigasi
yang memadai terutama berkaitan dengan ketersediaan sumber daya air sungai,
sawah hadir secara terbatas di Kabupaten Ende, selain dikembangkan secara cukup
intensif di dataran Ma'utenda dan Kotabaru. Perlu dijelaskan bahwa sistem
pertanian terpadu (integrated system) sudah berlangsung lama sebagaimana
perkembangan kebudayaan pertanian sejak leluhur Austronesia. Dalam komunitas
petani Lio-Ende, dikenal pula konsep kuru (juga kopo kasa) dan napu.
Kuru dalam konteks ini bermakna padang penggembalaan kerbau, misalnya ada kuru
kamba 'padang penggembalaam kerbau', sapi, domba, kambing, sedangkan napu
adalah perkebunan khusus untuk tanaman keras dan perdagangan. Di kalangan
komunitas petani-peladang Lio Ende dikenal istilah napu nio, 'kebun
kelapa' napu keu 'kebun pinang'. Masih ada sisa-sisa kuru dan napu,
namun dewasa ini banyak yang sudah berubah.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kondisi ekologi dan topografi kawasan Lio-Ende yang
tergolong sulit dan menantang itu telah membangun budaya dan etos kerja serta
keterampilan khusus yang menopang kehidupan komunitas peladang Lio-Ende
turun-temurun kendati sawah tergolong sangat terbatas jumlahnya. Justru adanya
tantangan ekologi itulah yang kemudian dijawab sebagai kebudayaan, adanya kebiasaan,
dan terasahnya keterampilan teknikal dalam mengolah lingkungan hidup yang
"ganas" kondisinya itu. Tepatlah pemahaman konsep kebudayaan yang
diberikan oleh sejarawan Arnold Toynbee bahwa kebudayaan adalah jawaban suatu
kelompok masyarakat atas tantangan alam lingkungan dalam konteks dan demi
mempertahankan dan melanjutkan hidup, penghidupan, dan kehidupan manusia itu
sendiri. Etos kerja inilah juga yang menjadi kekuatan manusia Lio-Ende.
Kebudayaan perladangan yang dimiliki
oleh Etnik Lio-Ende saat ini adalah fakta sejarah bahwa leluhur mereka telah
menemukan cara "menaklukkan dan memanfaatkan sumber daya alam khususnya
sumber daya lahan" demi kehidupan mereka. Lahan yang terjal dan curam
bahkan mungkin awalnya gersang atau juga padang rumput gersang, sementara itu
curah hujan yang minim adalah tantangan alam pula. Namun, tantangan itu telah
mampu diatasi oleh para leluhur Orang Lio-Ende setelah mereka menaklukkannya
lewat tekad, kerja keras, dan perjuangan yang kemudian menghasilkan budaya dan
teknologi perladangan dengan tata ritualnya itu. Adalah fakta sejarah dan
kebudayaan pula bahwa pola dan teknik perladangan yang diwariskan itu
berakumulasi dengan pengalaman mereka mengatasi erosi, memelihara lahan
(konservasi), di sisi teknologi perladangan asli yang produktif dan ramah
lingkungan. Adalah juga kisah masa lalu, bahwa jikalau mereka mengolah lahan
secara benar dan tentunya melalui prosedur ritual yang tepat, kelimpahan hasil
panen tahunan, niscaya semuanya itu menjadi prestasi, sekaligus meramu prestise
sosial mereka pula. Patut diuraikan bahwa teknologi dan budaya perladangan itu
telah melewati masa uji panjang dalam perjalanan sejarah. Terlepas dari
kesalahan atau kekurangtepatan penggunaan teknologi tradisional dalam mengolah
ladang yang berakibat terbakar dan gersangnya lahan, dan di sisi lain kondisi
alam yang ganas dan menantang komunitas peladang Lio-Ende, masyarakat lokal
juga telah memiliki kearifan dan teknologi yang ramah lingkungan. Pemeliharan
lahan dalam siklus tertentu penghutanan sebelum dibuka kembali menjadi ladang
baru, tampak pada pembudidayaan pepohonan dan perdu, penanaman pohon waru (hibiscus)
dan kera dan secara khusus juga tanaman denu dan ko'u yang
multifungsi itu. Lebih daripada itu budaya perladangan etnik setempat telah
membangun warna kepribadian berbasiskan perladangan asli, bagaimana mereka
mencintai dan mendayagunakan sumber daya lahan,dan menjadi pilar jati diriatau
kepribadian. Dikatakan demikian karena perilaku berbasiskan budaya perladangan
itu, sesungguhnya secara teratur membina keserasian dan kesinambungan hubungan
kosmologis mereka dengan alam (no'o tana watu), dengan Sang Pencipta,
dengan leluhur mereka, dan tentunya dengan sesama yang masih hidup.
Berkaitan
dengan itu, hubungan kekuasaan atas tanah menjadi dasar gerak budaya
perladangan. Kenyataan menunjukkan bahwa setiap keluarga peladang memang
berbeda-beda jumlah atau luas ladang dan atau tanah garapan mereka. Secara umum
memang ada yang memiliki lahan garapan yang luas dan banyak, sementara ada
keluarga peladang yang sedikit bahkan tidak memiliki lahan garapan sama sekali.
Kelompok yang terakhir ini hanyalah menunggu belaskasih para pemilik ladang
lainnya.
Secara umum ada
beberapa jenis lahan, tana, atau ngebo dalam komunitas peladang
Lio-Ende. Jenis-jenis lahan, tana atau ngebo adalah: (1) tana
nggoro. Lahan garapan jenis ini tergolong warisan paling lama ketika
leluhur dulu tiba pertama kali (nggoro wa'u tana dek). (2) Tana
guta mbaku atau Tana tego bani, lahan yang diperoleh karena menang
perang; (3) tana ngore no'o ome, wa'u no'o wajo, yakni lahan yang
dibeli; (4) Tana lawo lambu, te'e lani; lahan yang diperoleh dalam
kerangka mahar pernikahan; (5) Tana pura pu titi oto, toa lele kumi, siki watu
lamu. Lahan jenis ini diperoleh karena keberanian membuka hutan dengan
segala kemampuan; (6) Tana kuru kamba; lahan jenis ini dimilikimelalui
usaha peternakan secara tetap di lokasi tertentu, sebagaimana terungkap uielu
metu rota rnosa, tana kum sapu'u, ae sanaku; (7) Tana toko tuka, obo ro,
paka baja. Lahan jenis ini diperoleh karena balas jasa seseorang atau suatu
kcluarga alas kcbaikan dan pcngorbanan mereka;
(8) Tana pu'u kaju koba aje; lahan jenis
ini diperoleh karena prestasi seseorang atau suatu keluarga; (9) Tana leo;
lahan yang dimiliki sebagai denda atau pepulih karena perzinahan dan atau
permesuman (wale pela); (10) Tana dai singi luga ra'i, dai ma'u enga
nanga; lahan yang dimiliki karena jasa dan tanggung jawab di daerah
perbatasan; (11) Tana mopo, lahan yang dihibahkan oleh komunitas
peladang kepada mosalaki sebagai kepala dan pemimpin adat, dan digunakan
untuk ritual-ritual tertentu dan pembukaannya untuk dijadikan ladang harus
menggunakan kerbau bertanduk; (12) tana laki watu ongga yakni lahan
persekutuan untuk ritual-ritual umum; dan (13) Tana leka li'e ro'a yakni
lahan di lokasi yang terjal dan yang sulit digarap karena berisiko sangat
tinggi. Jenis lahan terakhir ini berkaitan dengan keberanian seseorang yang
dapat "menaklukan" medan terjal, Bahkan jenis aur atau bambu yang
ditanam di lokasi terjal ini dianggap bernilai tinggi dan dapat digunakan untuk
bahan bangunan khusus.
Kemampuan dan daya
konservasi dihargai oleh masyarakat. Secara umum, memang lahan garapan terbagi
dalam dua kategori, (1) tana nggoro dan (2) tana godo. Tana nggoro
memiliki sejarah yang berbeda. Tanah kategori ini seperti diuraikan di atas,
jelas berkaitan dengan asal muasal kekerabatan (lihat
Wackers, 1997:29; Mbete, 2006:16). Biasanya tanah ini secara simbolis diperkuat
pula dengan emas warisan sebagai pusaka suci dan tentunya sejarah lisan yang
tertuang dalam tuturan
kekerabatan itu. Itulah
sebabnya, penyelenggaraan ritual dalam kelender adat menjadi sangat
penting karena kisah dan sejarah tanah dan keturunan dari kampung itu selalu
dituturkan dan didendangkan kembali oleh Ata Sodha saat memimpin dan mementaskan
gawi, tarian massal yang sakral.
Dalam
masyarakat Lio-Ende, tana nggoro memang berbeda hakikat dan kedudukannya
dengan tana godo. Godo dalam bahasa Lio-Ende mengandung makna
"perjuangan, pengorbanan serta jasa" pula. Seperti yang dirincikan di
atas, tana godo adalah lahan yang dimiliki atas hasil usaha, misalnya
karena pertukaran atau juga karena utang yang tak mampu dibayar oleh orang lain
yang digadaikan dengan lahan tertentu. Jikalau hingga batas waktunya uang atau
barang yang digadaikan itu tak dapat dikembalikan oleh penggadai,
niscaya lahan garapan sebagai jaminan itu menjadi hak milik seseorang yang
telah meminjamkan uang atau barang. Kendatipun diklasifikasikan seperti di
atas, status, struktur permilikan, dan fungsi lahan telah pula mengalami
perubahan karena perkembangan kebutuhan, tuntutan ekologi, dan kependudukan.
Dewasa ini kemajuan ekonomi dari kalangan mana saja, memberikan peluang untuk
membeli dan memiliki lahan-lahan baru di lokasi-lokasi strategis, khususnya di
sekitar jalan negara.
mantap artikelnya.
ردحذفwww.kiostiket.com