1. Pengantar
Pertanyaan utama yang
menggelitik rasa ingin tahu saya ketika menerima topik sarasehan ini adalah, untuk apa menggali ‘rasa religiositas’
sebuah kelompok etnis? Apa sesungguhnya relevansi dan urgensinya? Jawaban atas
pertanyaan ini –yang akan diberikan di bagian pengantar ini-- penting sebagai
dasar bagi pembahasan selanjutnya.
Beberapa ahli filsafat kebudayaan, seperti Zoetmulder,
Driyarkara, Mangunwijaya, Dick Hartoko (dalam Taum, 1997a: 3) mengungkapkan
bahwa awal mula segala ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah rasa
religiositas. Dengan kata lain, keinginan untuk memuja Sang Pencipta mendorong
terbentuknya kebudayaan setiap etnis. Karena itu, menurut saya, memahami 'rasa
religiositas' dari sebuah kelompok etnik merupakan kunci memahami kebudayaan
etnis tersebut, karena kebudayaan pada awalnya diabdikan untuk mengungkapkan
rasa religiositas tersebut.
Dengan memasukkan faktor
budaya dalam upaya menuju ke inkulturisasi (musik) liturgi, berarti ada
pengakuan yang lebih tegas dan eksplisit mengenai fungsi budaya. Menurut para
ahli kebudayaan seperti Galtung (dalam Taum, 1994a), kebudayaan memainkan
peranan yang sangat menentukan dalam pergerakan sosial besar yang mengubah
masyarakat. Menurut saya, hal itu
berlaku pula dalam hal religi, yakni
jika kita mau 'mengubah' masyarakat menuju ke semangat Injil yang
(lebih) benar.
Untuk mencapai tujuan itu, makalah ini akan
membahas lima aspek, yakni: pengantar memahami masyarakat Flores, agama-agama
asli di Flores, keutamaan-keutamaan orang Flores, catatan ringkas tentang rasa
musikal orang Flkores, dan akan diakhiri dengan catatan tentang
inkulturasi musik di Flores.
2. Sekilas Masyarakat Flores
Pengantar ke dalam
masyarakat Flores ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara singkat bagaimana
konteks nyata masyarakat Flores. Penjelasan ini akan mencakup dua hal yakni
sejarah, lingkungan dan masyarakat Flores.
2.1 Sejarah Flores
Nama Pulau Flores berasal
dari Bahasa Portugis "Cabo de
Flores" yang berarti "Tanjung Bunga". Nama ini semula
diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau
Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal
Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad
ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau
ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969)
mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau
Ular). Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung
berbagai makna filosofis, kultural dan
ritual masyarakat Flores.
Pulau Flores, Alor dan
Pantar merupakan lanjutan dari rangkaian Sunda
System yang bergunung api. Flores memiliki musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang panjang. Daerah Pulau
Flores meliputi enam kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai, Ngadha, Ende, Sikka,
Flores Timur, dan Lembata.
2.2. Lingkungan dan
Masyarakat Flores
Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan
bahwa Pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam
komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis
menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi
yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b).
Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa,
filsafat dan pandangan dunia.
Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, ada enam
sub-kelompok etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996). Keenam
sub-kelompok etnis itu adalah: etnis Manggarai-Riung (yang meliputi kelompok
bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen). Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari
kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio.
Kelompok etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang).
Kelompok etnis Lamaholot (meliputi
kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah). Terakhir
kelompok bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian
selatan).
Keenam kelompok etnis di Flores sesungguhnya
memiliki asal-usul genealogis dan budaya yang sama. [1]
3. Agama-agama Asli di Flores
Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal
penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali
di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk
mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun
sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka. Tahun 1577
saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37).
Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke
Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah
kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau
Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores
dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di
Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.
Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak
permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai
kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai
daerah lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)-- sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi
asli warisan nenek-moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis,
yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut
berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh
sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat
di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.
Untuk dapat mengenal secara singkat gambaran
agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan 'wujud tertinggi' orang Flores.
Tabel itu menunjukkan bahwa orang Flores
memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan
yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka
yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman)
(Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores
sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi.
Tabel 1 Wujud Tertinggi Orang
Flores
NO
|
KABUPATEN
|
WUJUD TERTINGGI
|
MAKNA
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Flores Timur
Lembata
Sikka
Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
|
Lera Wulan Tanah Ekan
Lera Wulan Tanah Ekan
Ina Niang Tana Wawa//
Ama Lero Wulang Reta
Wula Leja Tana Watu
Deva zeta-Nitu zale
Mori Kraeng, bergelar:
Tana wa awang eta//Ine wa ema eta
|
Matahari-Bulan-Bumi
Matahari-Bulan-Bumi
Bumi-Matahari-Bulan
Bulan-Matahari-Bumi
Langit-Bumi
Tanah di bawah, langit
di atas
|
Selain itu, hampir semua etnis masyarakat Flores
memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, lengkap dengan altar pemujaannya yang
melambangkan hubungan antara alam manusia
dengan alam ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat upacara ritual orang
Flores.
Tabel 2 Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores
NO
|
KABUPATEN
|
NAMA TEMPAT
|
KETERANGAN
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Flores Timur
Lembata
Sikka
Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
|
Nuba Nara [2]
Nuba Nara
Watu Make
Watu Boo
Vatu Leva - Vatu Meze
Compang – Lodok
|
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir
|
Altar yang disebutkan dalam Tabel 2
di atas merupakan tempat dilaksanakannya persembahan hewan korban dalam upacara
ritual formal, misalnya: upacara panen, pembabatan hutan, pendirian rumah,
perkawinan adat, dan sebagainya. Upacara ritual itu sendiri menduduki posisi
penting sebagai sarana pembentukan kohesi sosial dan legitimasi status sosial.
Ritus persembahan di altar tradisional itu mempengaruhi berbagai struktur dan
proses sosial di Flores. [3]
4. Beberapa Keutamaan Orang Flores: Kasus
Lamaholot
4.1 Percaya kepada Tuhan
yang Kuasa
Sebelum agama Katolik tiba
di Flores, masyarakat di sana sudah mengenal Tuhan yang Kuasa, yang disebut
‘Lera Wulan Tanah Ekan’ atau Tuhan Langit dan Bumi. Orang Flores memiliki rasa syukur dan
penyerahan diri yang begitu dalam kepada Tuhan. Untuk memperkuat kenyataan
bahwa seseorang bertindak benar dan jujur, sekaligus memperingatkan lawannya,
mereka berucap: "Lera Wulan Tanah
Ekan no-on matan": Tuhan mempunyai mata (untuk melihat), yang berarti
Tuhan mengetahuinya, ia maha tahu, ia maha adil, ia akan bertindak adil. Pada peristiwa kematian, orang biasanya
berkata: "Lera Wulan Tanah Ekan guti
na-en": Tuhan mengambil pulang miliknya.
Pada perayaan syukur
sebelum panen, ada kewajiban bagi para anggota masyarakat untuk mempersembahkan
sebagian hasil panen itu sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan sebelum
menikmati hasil panen tersebut. Adapun doa yang didaraskan sebagai berikut:
Bapa
Lera Wulan lodo hau Bapak
Lera Wulan turunlah ke sini
Ema
Tanah Ekan gere haka Ibu
Tanah Ekan bangkitkan ke sini
Tobo
tukan Duduklah
di tengah
Pae
bawan Hadirlah
di antara kami
Ola di
ehin kae (Karena)
kerja ladang sudah berbuah
Here di
wain kae (Karena)
menyadap tuak sudah berhasil
Goong
molo Makanlah
terlebih dahulu
Menu
wahan Minumlah
mendahului kami
Nein
kame mekan Barulah
kami makan
Dore
menu urin Barulah
kami minum kemudian
4.2 Kejujuran dan Keadilan
Kepercayaan yang kuat dan penyerahan diri
seutuhnya pada Tuhan menimbulkan nilai-nilai keutamaan lainnya yang juga
dijunjung tinggi orang Flores seperti kejujuran dan keadilan. Nilai ini muncul
sebagai keyakinan bahwa ‘Tuhan mempunyai mata’ (Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan) . Tuhan melihat semua perbuatan manusia,
sekalipun tersembunyi. Dia menghukum
yang jahat dan mengganjar yang baik.
Sifat dan tabiat kejujuran ini
sangat menarik perhatian Vatter (1984: 56). Dia mencatat, hormat terhadap hak
milik oang lain tertanam sangat kuat di benak orang Flores. Pencurian termasuk
pelanggaran berat di Flores. Pada zaman dahulu dikenakan hukuman mati, dan saat
ini pencuri dikenai sangsi adat berupa denda yang sangat besar.
4.3 Penghargaan yang Tinggi akan Adat dan Upacara Ritual
Studi Graham (1985)
mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Flores Timur, ada
empat aspek yang memainkan peranan penting, yaitu episode-episode dalam mitos
asal-usul, dan tiga simbol ritual lainnya yakni nuba nara (altar/batu pemujaan), korke (rumah adat), dan namang
(tempat menari yang biasanya terletak di halaman korke). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang Flores memiliki
penghargaan yang sangat tinggi akan adat-istiadat dan upacara-upacara ritual
warisan nenek-moyangnya.
Mitos cerita asal-usul
dipandang sebagai unsur terpenting dalam menentukan otoritas dan kekuasaan.
Melalui episode-episode dalam mitos asal-usul itulah legitimasi magis leluhur
pertama dapat diperoleh. Mitos asal-usul yang sering dikeramatkan itu biasanya
diceritakan kembali pada kesempatan-kesempatan ritual formal seperti membangun
relasi perkawinan, upacara penguburan, terjadi sengketa tanah, persiapan
perang, pembukaan ladang baru, panen, menerima tamu, dan sebagainya.
Nuba-nara atau altar/batu pemujaan merupakan simbol kehadiran Lera
Wulan Tanah Ekan. Ada kepercayaan bahwa Lera Wulan turun dan bersatu dengan
Tanah Ekan melalui Nuba Nara itu. Korke yang dilengkapi dengan Nama adalah "gereja"
tradisional, pusat pengharapan dan penghiburan mereka.
Sangat kuat dan
menonjolnya peranan devoci kepada Bunda Maria di kalangan orang Flores di satu pihak menunjukkan unsur historis
(warisan zaman Portugis) tetapi sekaligus kultural (pemujaan terhadap Ibu Bumi,
seperti dalam ungkapan Ama Lera Wulan-Ina Tanah Ekan).
4.4 Rasa Kesatuan Orang Flores
Ikatan kolektif yang
sangat kuat dalam masyarakat Lamaholot terjadi pada tingkat kampung atau Lewo. Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki
keterikatan yang khas dengan Lewotanah
atau tempat tinggal. Melalui ukuran kampung, mereka membedakan dirinya dengan
orang dari kampung lainnya. Kampung merupakan kelompok sosial terbesar, dan
kesadaran berkelompok hampir tidak melampaui batas kampung (Vatter, 1984: 72-73).
Di Flores sebetulnya tidak
ada kesadaran akan persatuan yang bertopang pada pertalian genealogis, historis
maupun politis. Seperti disebutkan di atas, keterikatan mereka lebih disebabkan
faktor kesamaan tempat tinggal atau kampung. Sekalipun demikian, pola
organisasi kampung selalu dibangun dengan semangat dan pemikiran tentang kohesi
sosial yang berpangkal pada kerangka genealogis. Dalam kampung-kampuang itu
tinggal orang-orang dari berbagai kelompok imigran, yang kemudian
digolong-golongkan dalam suku (istilah untuk suku adalah Ama).
Itulah sebabnya orang
Flores cenderung menyapa sesamanya dengan sebutan kekerabatan (Om, Tante,
Kakak, Adik atau mengaku sebagai saudara). Mereka juga bisa menghargai
perbedaan politis, agama, etnis bila mereka telah diikat dalam satu kesatuan
tempat tinggal. Rasa kesatuan seperti
ini, kadang-kadang membuat orang Flores menjadi sedikit bersifat etnosentris.
5. Catatan tentang Rasa Musikal Orang Flores
Sekalipun di Flores tidak banyak ditemukan
alat-alat instrumen musik, rasa musikal orang Flores tergolong cukup istimewa.
Hal ini dapat dilihat dalam pandangan Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst
(1942) berikut ini.
“Of
musical instruments I did not see much, although, as a matter of fact, the
population of Flores seemed to me to be more musically talented than the
kindred Indonesian tribes whose acquaintance I made in Sumatra, Java and
Celebes, where I never heard any tolerable voices sing agreeable melodies. It
was different in Flores. Many a sonorous male voice, rendering simple songs at
the river bank, still sounds in my ears; melodies which might well please the
European ear, too. And where is the Florinese who could paddle without singing
his pantuns, complete with soli and refrain sung in
chorus? Among these soloists there were some voices that might, with better
training, have been turned out as good tenor, soprano and bass voices. But this
hardly seems to me to apply to the treble voices of the genuine Malay people,
including the Buginese and Macassarians. It would seem that we have here to do
with a morphological distinction in the vocal means of expression, which may
well amount to a support of my view concerning the kinship of the Florinese
with tribes living further east” (p. 32).
Berikut ini terjemahan selengkapnya kutipan di
atas.
“Tentang musik instrumen saya tidak banyak
menemukan, tetapi adalah sebuah fakta bahwa penduduk Flores memiliki bakat
musikal yang lebih dibandingkan suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang saya
jumpai di Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Saya tidak pernah mendengar suara
nyanyian yang kompak dan serasi dengan melodinya. Ini berbeda di Flores. Banyak
terdengar suara pria yang dalam, gema nyanyian di sepanjang sungai, tetap
terngiang-ngiang di telingaku, melodinya menyenangkan telinga Eropa juga. Dan
di manakah orang Flores yang berjalan tanpa menyanyikan pantunnya, lengkap
dengan solo dan refrainnya dalam koor? Di antara penyanyi-penyanyi solo ini,
terdapat beberapa suara yang, dengan latihan yang lebih baik, akan menjadi
penyanyi tenor, sopran dan bass yang baik. Tetapi hal ini jelas hampir tidak
terlihat pada suara penduduk Melayu asli, termasuk Bugis dan Makasar.
Barangkali inilah pembedaan morfologis dalam ekspresi vokal, yang mendukung
gagasanku tentang kekeluargaan di Flores dengan suku-suku yang hidup di timur
jauh" (h. 32).
Orang Flores, seperti
terungkap dalam kutipan di atas, memiliki bakat musikal yang sangat tinggi,
khususnya dalam nyanyian koor. Sebagian (kecil) lagu-lagu Flores sudah
diakomodasikan dalam liturgi dan sudah termuat dalam buku Madah Bhakti. Tetapi buku
ini kurang disenangi di Flores karena kurang variatif dan terasa seperti
menekan kreativitas.
Masih ada satu hal yang penting menjadi catatan.
Jika orang Flores, menurut Max Weber,
mempunyai bakat musikal yang sangat tinggi, pertanyaannya adalah, mengapa tidak
ada orang Flores yang kemudian menonjol sebagai penyanyi nasional? Adakah
kendala budaya yang menghambat pencapaian ini?
Beberapa studi (Vatter,
1984; Graham, 1985; Taum, 1997b) mengungkapkan bahwa keluarga di Flores (dalam
hal ini Flores Timur) memainkan peranan yang sangat kecil dalam proses
pendidikan dan sosialisasi anak. Keluarga bukan tujuan melainkan sarana bagi
pembentukan kelompok sosial yang menjadi inti masyarakat dan menentukan suku.
Suku itulah basis sosial terkecil dan otonom. Semua hak dan kewajiban
individual diarahkan kepada kebersamaan suku. Itulah sebabnya ruang bagi
ekspresi dan aktualisasi potensi pribadi menjadi lebih terbatas, sebaliknya
kebersamaan menjadi lebih bernilai. Mungkin ini salah satu kendala budaya yang
menghambat hal itu, di samping faktor-faktor teknis lain seperti peluang,
modal, dan sebagainya.
6. Penutup: Soal
Inkulturisasi
Agama Katolik hanya bisa
berakar dalam kebudayaan sebuah kelompok etnis jika Katolik sudah terungkap
dalam pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan masyarakat pendukung etnis itu,
dan bahkan memimpin dan mengarahkan kehidupan sosial-budaya setempat. Injil
sudah harus ikut mempengaruhi, membentuk, mengarahkan, dan merasuk ke dalam
sistem nilai dan sistem budaya lokal. Agama Katolik hanya akan berakar, sejauh
ia mampu menginjili sistem keagamaan masyarakat. Jika tidak, Katolik akan tetap
tinggal di luar.
Dalam kaitan dengan ini,
maka proses inkulturisasi, bagi saya, adalah mengangkat nilai-nilai dasar dan
paham-paham inti budaya kelompok etnis tertentu
ke dalam interaksi dinamis dengan Kitab Suci dan tradisi gereja. Dalam
interaksi ini paham-paham budaya asli akan bertemu dengan ilham esensial gereja
sebagai wahyu dan konteks-konteks wahyu itu sendiri. Hal ini membutuhkan proses yang panjang, dan
di sisi akademis membutuhkan studi dan diskusi yang mendalam.
Khusus dalam hal
inkulturisasi musik liturgi di Flores, perlu dipahami bakat musikal orang
Flores itu. Lagu-lagu yang sudah direduksi menjadi satu suara sangat
membosankan orang Flores yang sudah sangat terbiasa menyanyi dalam empat suara.
Untuk mendukung inkulturisasi musik liturgi di Flores, perlu diinventarisasikan
lagu-lagu rakyat, ditranformasikan menjadi lagu liturgis, dan diterbitkan dalam
buku nyanyian khusus dengan pola empat suara. Lagu-lagu dengan semangat dan
warna musik yang sama (seperti dari daerah Minahasa, Ambon, Papua, serta dari
daerah lainnya) dapat pula dilibatkan
dalam buku nyanyian ini. Penggunaan alat-alat musik tradisional (misalnya gong waning di Sikka, suling bambu di
Ende dan Flores Timur, orkes kampung hampir di seluruh Flores) dalam musik
liturgi sungguh-sungguh menarik minat dan partisipasi umat, khususnya generasi
muda Flores.
Akhirnya, semoga upaya Pusat Musik Liturgi (PML)
Yogyakarta untuk menuju ke inkulturisasi musik gereja Indonesia dapat berhasil
memadukan semangat kebudayaan asli dengan semangat Injil yang (lebih) benar.
تعليقات
إرسال تعليق