Pembicaraan
yang berlangsung pada malam yang larut melahirkan sebuah harapan baru
yang menjadi moment penting dalam mengawali diskusi panjang pada masa
yang akan datang. Kiranya pembicaraan yang terjadi tidak menjadi yang
pertama di antara kita. Pembicaraan itu penting dalam menuangkan ide
sekaligus sebagai tanda untuk mengenal siapa dan bagaimana sebenarnya
kita sesungguhnya. Hari kemarin mungkin bagi kita adalah misteri yang
syarat dengan selaksa rahasia. Hal ini karena jarak yang membuat kita
menjadi makluk yang sedang bersembunyi di balik rahasia kehidupan. Dan
rahasia itu baru dapat tersingkap ketika kita memulai untuk bertemu
dalam nada persahabatan.
Yohana,
gema suaramu dalam getaran deringan telepon bisu menjadikan aku
berlayar di samudera raya yang luas. Entah bagaimana suaramu membuatku
tenggelam dalam arus jaman yang eksotis sekaligus mengungkap segala apa
yang menjadi bagian dalam hidup ini dan apa yang di dalamnya ada
kemanisan yang menyakitkan dan kepahitan yang menawan rasa rindu, kau
memang ada seorang teman sekaligus sahabat yang sedang belajar menuntun
ilmu di daerah Yogyakarta sana. Ia bertekad melindungi dan membelamu dan
berharap kau tetap sehat dalam bimbingan kasih Tuhan yang menderita di
atas kayu salib itu. Lihatlah Ia di sana tergantung dalam palang
penghinaan demi kita, kau dan aku, Yohana dan Maxi. Seorang teman yang
jauh sekali kadang-kadang lebih dekat daripada teman yang tinggal dekat
sekali. Bukankah gunung meja akan nampak lebih indah dan menarik serta
jelas kelihatan bagi kita yang berjalan melintasi perbukitan One Kore
daripada mereka yang mendiami kaki gunung itu?
Pembicaraan
itu meskipun menggunakan bahasa yang sederhana tetapi mengandung
harapan yang melambung ke angkasa yang ditaburi bintang mengantarkan
rasa rindu pada seorang gadis yang bernama Yohana yang nun jauh di
Kupang kota karang namun menyimpan banyak nilai-nilai luhur - ibukota
propinsi daerah asalku - tempat aku dihadirkan oleh sang khalik.
Kerinduan bukanlah tanpa sebab. Sekian lama aku berkelana dan bermusafir
ke negeri yang jauh yang memang terlalu asyik sekaligus asing karena
membawa aku mengerti tentang arti hidup sesungguhnya. Betapa tidak,
bahwa hidup di tanah orang sungguh melahirkan rasa rindu pada gadis Lio
yang dalam pembicaraan dengan dialek bahasa lionya sangat kental.
Kapankah Tuhan ijinkan aku pulang pada daerah asalku dan menemui gadis
Lio yang anggun dan menawan seperti Yohana yang pernah ku kenal? Ataukah
Tuhan Engkau sengaja mempertemukan aku dengan seorang gadis Lio,
Yohana, mewakili Yohana-Yahana yang lain seperti saudariku, ibuku,
familiku atau juga kekasihku kelak?
Aku
pun menyadari bahwa pertemuan seorang mahasiswa akuntansi dengan Yohana
seorang mahasiswi jurusan sastra inggris tingkat akhir yang kini sedang
sibuk dengan penyusunan skripsinya memang tanpa di sengaja. Pertemuan
kami diawali dengan sms, berlanjut via telepon dan akhirnya saling marah
karena dasar tidak saling bertemu untuk mengenal secara fisik sekaligus
menilai indahnya senyum dan manisnya berceloteh tentang anggunnya
gunung Kelindota dan hangatnya sumber air panas yang ada di lembah
Detusoko. Masing-masing nampaknya perlu adanya pengertian yang meskipun
barangkali sulit terwujud lantaran – sekali lagi – jarak yang memisahkan
dua insan. Tetapi aku selalu percaya bahwa setiap detik nadi ini terus
berdetak waktu akan tetap mengijinkan kami untuk bertemu walau hanya
sesaat, di sana – di Kupang atau di Ende – di mana kami akan saling
beradu pandang seperti peristiwa penyaliban Yesus dalam berjumpa dengan
ibunya dari atas derita dalam pengorbanan cinta. Yesus manusia Tuhan
yang sempurna. Sebagai pengikutNya tentu belajar peristiwa pelayananNya
dan menerapkan dalam hidup terutama mengungkapkan cinta pada orang yang
dicintai. Tatapan bunda Maria terhadap derita putranya mengingatkan aku
bagaimana pertemuanku dengan kekasih asal Lio yang sangat menggetarkan
jiwa yang diwujudkan dalam diri seorang gadis atas nama Yohana.
Semenjak
pertemuanku dengan Yohana aku sungguh menutup jalan bagi yang lain
yakni utasan cinta dan beningnya nurani untuk memiliki seorang perempuan
dengan sepenuh hati. Yohana lah yang membawa aku untuk belajar
bagaimana untuk saling mencintai. Dan Yohana pula yang mengantarkan aku
pada sebuah alam yang banyak ditumbuhi dengan bunga-bunga yang indah.
Bunga-bunga cinta. Mawar dan melati adalah bunga kesenanganku karena
aromanya sungguh harum mewangi yang juga terpatri dalam diri Yohana
gadis Lio sang pemberontak adat yang berpikir maju memperbaiki tatanan
kehidupan menuju arah yang dinamis demi hidup yang sejahtera. Adat
itulah bahan diskusi kami dalam alunan nada malam, gemerincing dengan
lolongan jengkrik serta hantu rahasia tersingkap. Mungkin Yohana adalah
segalanya tetapi aku mesti belajar realistis seperti seorang anak yang
sedang belajar berbicara. Itu membutuhkan waktu yang cukup dan tidak
pernah ada dalam sejarah orang bertemu berlanjut dengan pernyataan “Aku
mencintaimu”. Belajar adalah kuncinya dan kesabaran adalah faktor
kesuksesan dalam menitik cinta.
Kemarin
mungkin dalam sms atau telepon terdengar erangan suara lembut Yohana
dan mencoba mengusikku dengan kebohongan yang diciptakan oleh dua
manusia – sepasang muda-mudi, Yohana dan Maxi – tetapi itu batas wajar,
normal karena rasa rindu adalah jiwa manusia yang tak pernah terpisah
dari raganya. Apa yang dialami oleh Yohana juga dialami olehku. Dua
manusia yang sedang mencari eksistensi dan jati diri. Dan dua manusia
itu pula bersama menanam rasa percaya diri karena yang satu dari dulu
selalu mengasingkan diri ke negerinya sendiri dan kini ia mulai keluar
dari pertapaan dan mencoba membuka hati untuk mencintai gadis Lio dalam
diri Yohana atau pun pada Yohana lain yang namanya menjadi litani khusus
bagi hidupnya dan jiwanya menjadi pendamping raga yang membutuhkan
keintiman persahabatan. Aku mencintai gadis Lio karena gadis Lio adalah
keturunan hawa dalam daerah Ende Lio yang memiliki rahim yang subur dan
indah dengan rambut ikalnya. Sehingga tak terpungkiri kalau boleh aku
menilai bahwa bening bola mata gadis asal Lio seindah danau kelimutu dan
lembah dadanya seperti hamparan perbukitan kampung Ndito yang menawan
dan sejuk serta ramping pinggangnya seperti gitar yang dimainkan oleh
gitaris ketika sedang bernyanyi di dalam katedral Ende yang artistik.
Dan ini aku dapati dalam diri Yohana. Gadis Lio adalah segalanya bagiku
apa pun kekurangannya, gadis Lio tetaplah menjadi yang terdepan buatku
dalam menabur cinta. Semoga Yohana, engkau memahami dan mengerti makna
yang ada di balik ini, hati Maxi sahabatmu yang dipisahkan oleh jarak
beribu mil dari Kupang menuju Yogyakarta.
تعليقات
إرسال تعليق