WARISAN BUDAYA FLORES


Warisan Budaya

Warisan Budaya mencakup budaya yang berwujud (seperti gedung, monumen, pemandangan alam, buku, karya seni, dan artefak), budaya yang tidak berwujud (seperti cerita rakyat, tradisi, bahasa, dan pengetahuan), dan warisan alam (termasuk budaya dalam bentuk lanskap, dan keanekaragaman hayati).
Warisan budaya merupakan sesuatu yang unik dan tak tergantikan, sehingga menjadi tanggung jawab pelestarian bagi generasi sekarang.

Populasi
Flores terletak di zona perbatasan antara Melayu dan Melanesia. Di sebelah barat pulau ini sebagian besar dihuni oleh ras Melayu, sedangkan di sebelah timur oleh ras Melanesia. Keturunan Bugis, Makassar dan Bima mengisi daerah pesisir. Selama berabad-abad mereka telah hidup berbaur dengan penduduk asli. Pulai ini tergolong padat penduduk. Pada tahun 1916 populasi penduduk diperkirakan sebanyak setengan juta. Saat ini penduduk yang mendiami Flores sekitar 1,5 juta orang. Mayoritas pupolasi adalah Katolik Roma. Agama minoritas adalah Islam dan Protetan.

Bahasa
Di Flores, ada banyak bahasa yang dipergunakan, kebanyakan menggunakan bahasa keluarga Austronesia. Di tengah pulau, di Kabupaten Ngada dan Ende, bahasa yang digunakan merupakan rantai dialek Flores atau pusat perhubungan Flores. Dalam wilayah ini kita dapat menemukan perbedaan pengucapan bahasa, yang hampir berbeda dari desa ke desa. Setidaknya terdapat enam bahasa terpisah yang berbeda. Yaitu dari barat ke timur: Ngadha, Nage, Ke'o, Ende, Lio, dan Palue. Bahasa Palu adalah bahasa yang digunakan di Pulau Palu yang terletak di Pantai Utara Flores. Warga setempat juga mungkin akan menambahkan So'a dan Bajawa dalam daftar bahasa, namun antropolog membaginya sebagai bagian dari dialek Ngadha. Di bagian timur pulau, populasi penduduk berbicara bahasa Lamoholot. Bagian lain, khususnya di Larantuka berbahasa Melayu, tetapi dengan varian yang disebut sebagai "Lazy Melayu”. Secara keseluruhan, di Pulau Flores sendiri terdapat sembilan belas bahasa yang dipergunakan (tidak termasuk Bahasa Indonesia), semua campuran dari Bahasa Melayu, Polinesia, dan Austronesia. Mengenai banyaknya penggunaan bahasa, maka Bahasa Manggarai, Lio, dan Sikka adalah bahasa yang berlaku secara umum.
Sumber: Wikipedia 


Homo Floresiensis

Pada September 2004, di Gua Liang Bua di Flores Barat, ahli paleoantropologi menemukan kerangka kecil yang mereka gambarkan sebagai Floresiensishominid (Homo Floresiensis) yang sebelumnya tidak dikenal. Secara tidak resmi ini dikenal sebagai hobbit dan tampaknya memiliki tinggi sekitar 1 M (3,3 kaki). Dan sebagai individu yang paling lengkap (LB1) berusia 18.000 tahun.
Lihat lebih lanjut

Sejarah

Para pedagang dan penyebar agama dari Portugis datang ke Flores pada abad ke 16, khususnya ke Larantuka dan Sikka. Pengaruh mereka masih sangat terlihat dalam bahasa, budaya dan keagamaan Sikka. Dominika menempati urutan sangat penting di pulau ini, sebagai pulau tetangga dari Timor dan Solor. Pada tahun 1613 ketika Belanda menyerang Flores dari Solor, penduduk dibentengi oleh kepemimpinan dari Dominika dan dipindah ke pelabuhan kota Larantuka, di Pantai Timur Flores. Populasi penduduk dicampur antara Portugis dengan penduduk lokal pulau dan orang dari Larantuka, orang Topas atau seperti yang dikenal oleh Belanda sebagai "Black Portugis”. Para orang Larantuka atau Topas menjadi orang-orang yang dominan dalam perdangan kayu cendana selama 200 tahun ke depan. Kelompok ini menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa untuk beribadah, Melayu sebagai bahasa perdangan dan dialek campuran sebagai bahasa sehari-hari. Pada tahun 1846, Belanda dan Portugis memulai negosiasi terhadap deliminasi wilayah namun negosiasi ini tidak memberikan hasil. Pada tahin 1851 gubernur baru dari Timor, Solor dan Flores, Lima Lopes, berhadapan dengan buruknya kondisi administrasi, setuju untuk menjual timur Flores dan pulau-pulau terdekat untuk Belanda dengan imbalan pembayaran sebesar 200000 florin. Lima Lopes melakukannya tanpa persetujuan dari Lisbon dan diberhentikan dengan tidak hormat, tetapi kesepakatan yang telah dibuat tidak dibatalkan dan pada tahun 1854 Portugal menyerahkan semua bagian sejarahnya di Flores. Setelahnya, Flores menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda Timur. selamaPerang Dunia II kekuatan invasi Jepang sampai ke Reo pada tanggal 14 mei 1942 dan menduduki Flores. Setelah perang, Flores menjadi bagian dari Indonesia yang merdeka.
Sumber: Wikipedia



Warisan Budaya Arsitektural
  
   Row of Houses with Verandas, Ngadha

Pulau Flores adalah rumah bagi banyak bangunan tradisional. Contoh dari tradisi ini dapat ditemukan di banyak tempat di seluruh Flores. Di sebagian besar bangunan budaya Flores, rumah tinggal merupakan bangunan yang paling menonjol di sebuah desa. Meskipun setiap rumah dibangun mengikuti prinsip-prinsip konstruksi yang berbeda sesuai dengan tradisi bangunan masing-masing, rumah-rumah di Flores masih memilik ciri-ciri umum yang sama. Rumah secara tradisional dibangun dari kayu dan bambu. Untuk membuat lantai terangkat dari tanah, rumah didirikan di atas penyangga. Atap rumah biasanya menjadi bagian paling menonjol dari keseluruhan bangunan, dan dibuat secara tradisional dari jerami atau bilah-bilah bambu. Jerami dari rumput ilalang yang tebal sangat cocok untuk kondisi iklim di Flores karena mampu mengisolalsi panas dan dingin, juga meredam suara hujan lebat hal ini memberikan ruang interior yang nyaman. Manfaat ini hilang ketika atap rumah diganti menggunakan seng, yang kian menjadi popular sebagai simbol status modern selain karena seng merupakan bahan yang mudah untuk digunakan.

 

 Village Square with Ngadhu and Bhaga, Ngadha
 Roundhouse, Manggarai



Rumah-rumah di Flores memberikan banyak fungsi berbeda. Rumah menjadi ruang untuk tinggal, tidur, bekerja, dan tempat penyimpanan, selain itu rumah juga menjadi bangunan religi yang menghubungkan pemilik rumah dengan nenek moyangnya. Setiap rumah menyimbolkan status yang sangat terkait dengan penghuni rumah dan menentukan peran social pemilik rumah. Design interior ruangan dalam rumah terbagi dalam beberapa ruangan privat seperti kamar tidur atau ruangan sakral, dan ruangan umum yang digunakan untuk menerima tamu. Di beberapa daerah di Flores, rumah dibagi menjadi beberapa ruangan berbeda dengan masing-masing fungsi yang berbeda pula, namun di beberapa bangunan tradisi lain, pembagian ruangan rumah tidak dilakukan dengan menggunakan dinding melainkan diketahui hanya dengan cara penghuni rumah menggunakan rumahnya. Karena sebagian bangunan rumah tradisional beratap rendah, hanya ada sedikit cahaya alami yang mampu menembus bagian dalam rumah. Terlepas dari jumlah cahaya matahari yang sedikit, nyala api dari perapian masih menjadi satu-satunya sumber cahaya dibanyak rumah. Untuk memiliki ruangan yang cukup terang, banyak rumah memiliki beranda yang selalu berorientasi pada alun-alun pusat desa dan berfungsi sebagai tempat menerima tamu, untuk bekerja, dan menghabiskan waktu di siang hari sambil mengamati berbagai kegiatan yang ada desa.
    
 Grass and Bamboo roof, Nagekeo
 Anteroom to Interior of Chiefs house, Lio


Atap raksasa merupakan bagian yang paling disucikan dari sebuah rumah dan dianggap sebagai daerah dimana nenek moyang bertempat tinggal. Tetap berhubungan dengan nenek moyang merupakan suatu hal yang penting bagi sebagian orang Flores karena nenek moyang dipercaya menuntun mereka dalam segal hal setiap hari dan dalam masalah khusus. Rumah berfungsi sebagai tempat untuk berkomunikasi dengan leluhur mereka selama diadakannya upacara. Di beberapa daerah di Flores ada yang memiliki tambahan bagunan religius. Bagunan ini mungkin rumah untuk upacara, rumah untuk menyimpan tulang leluhur yang telah meninggal, tempat penyimpanan alat music yang disakralkan atau benda suci lainnya, altar tiang batu untuk persembahan, mimbar atau symbol untuk leluhur, seperti ngadu dan bhaga dalam budaya Ngadha. Dibanyak budaya, makam orang-orang penting desa terletak di pusat desa sebagai symbol dari hubungan yang erat antara warga desa dan leluhurnya.


 Ceremonial Houses and Grave, Lio
 Old Threshold in Concrete House, Ngadha


Saat banyak orang Flores masih menggunakan bangunan tradisional mereka, banyak aspek-aspek tradisional yang telah ditransformasikan ke dalam rumah-rumah modern dan secara kuat dipengaruhi oleh ciri bangunan modern, menciptakan arsitektur Flores bermakna modern merlampaui rumah dengan "besi lunak bergelombang”. Pada beberapa bangunan tradisional kuno, rumah dibangun untuk dapat ditinggali oleh keluarga luas (gabungan dari beberapa keluarga batih) yang semakin menjadi tidak lazim dalam kehidupan sekarang, karena kebanyakan orang lebih memilih untuk tinggal bersama keluarga yang lebih kecil dalam rumah dengan privasi lebih. Perubahan struktur social di beberapa desa menyebabkan semakin sulit untuk mempertahankan rumah besar yang dihuni oleh keluarga luas, yang juga membutuhkan bahan bangunan khusus dan biaya upacara yang mahal. Di beberapa daerah di flores, rumah modern dibangun sebagai tempat tinggal di sebelah rumah adat tradisional, yang masih dipertahankan untuk keperluan upacara dan sebagai tempat tinggal nenek moyang, oleh sebab itu fungsi bangunan yan utama berubah menjadi bangunan religi. Sementara itu, di area lain, bangunan rumah adat digunakan oleh orang terpenting dalam keluarga atau untuk pertemuan dan upacara besar. Rumah modern kebanyakan dibangun dari batu bata atau beton dengan beratapkan seng. Bahan bangunan yang baru ini tidak mampu memberikan kenyamanan yang sesuai dengan konsidi cuaca sebagaimana bahan bangunan yang tradisional, akan tetapi bahan bangunan yang baru ini dianggap lebih bergengsi karena hanya dapat diperoleh melalui transaksi pembayaran. Di area dimana penduduk diijinkan cukup waktu, kemungkinan terjadi adaptasi yang lambat dengan tradisi bangunan mereka. Di area tahap peralihan antara bangunan tradisional dan modern dapat ditemukan atau pada aspek-aspek tertentu seperti symbol-simbol keagamaan, atau cara penggunaan bangunan telah berubah menjadi seperti rumah modern.


 Modern Interpretation of Manggaraian Round House, Manggarai

تعليقات