ARTI NAMA LIO ( SUKU LIO DI KAB. ENDE )slb

Kata LIO dimunculkan ketika wilayah tanah kunu lima dan Ndona disatukan menjadi satu kerajaan oleh Pius Rasi Wangge pada 1924. Untuk menyebut dua kerajaan yang disatukan itu Raja Pius Rasi Wangge menamainya LIO. Bagi Pius Rasi Wangge LIO diartikan sebagai Lise Ila Obo atau Lise adalah lampu obor. Secara bebas diartikan bahwa orang Lise adalah penerang, pemimpin dan perkasa. Pengertian ini diasumsikan oleh Simon Seko, Ria Bewa tanah Lika Mboko Telu Mautenda sebagai politik kekuasaan orang Lise. (Sumber : P. Sareng Orinbao, Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Nita Flores, 1992)

Arti yang digandrungkan oleh Raja Pius Rasi Wangge tampaknya berbeda dengan pemahaman orang Hindia Belanda yang kala itu berkuasa. Penguasa Hindia Belanda memahami kata LIO secara akronim dengan Bahasa Belanda “Land in Orloog” atau daerah konflik. Maksudnya suku bangsa yang mendiami daerah-daerah di kawasan LIO selalu bertikai satu sama lain. Kecenderungan suka berkonflik terlihat dari pemukiman suku bangsa tersebut yang terletak di atas bukit yang tinggi serta di tebing jurang yang dalam. Pilihan bermukim di kawasan tersebut guna mengetahui secara cepat kedatangan musuh sekaligus memberikan perlawanan secara tepat terhadap pihak musuh  yang datang. Land in Oorlog juga disinkronkan dengan keyakinan primordial yang menunjukkan figur Woda dan Wangge, dua tokoh Lise yang suka merampas dan merampok. Kepada keduanya dijuluki “Gudu Woda Budu, Biga Wangge Rago” berarti Woda menggemparkan dan Wangge menggegerkan. Keduanya dipandang memperluas wilayah Lise dengan cara menimbulkan kepanikan. (Sumber : P. Sareng Orinbao, Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Nita Flores, 1992)

Pada era tahun 1980-an di Ende muncul Bapak Petrus yang menjelaskan arti kata LIO secara lebih akomodatif. Bapa Petrus mengartikan kata LIO sebagai “ Li - Ine – One atau Sa Li, Sa Ine, Sa One”.
Sa Li adalah sebaya, seusia atau seumur.
Sa Ine adalah satu ibu, satu bapak dan satu asal
Sa One adalah serumah dan sekeluarga.
Hakekat pemahaman bagi Bapak Petrus yakni bahwa suku bangsa Lio adalah sama dan seasal. Suku bangsa Lio berasal dari nenek moyang yang sama. Karenanya orang LIO memandang satu dengan yang lainnya adalah saudara.
Untuk memahami hakekat orang LIO, menarik untuk disimak pula pola kebiasaan memberikan nama pada suatu benda  yang cenderung berdasarkan tiruan bunyi/suara suatu benda atau anomatoupe.
Kucing yang selalu bersuara “eo,eo,eo” dinamakan ‘ana eo’
Burung Gagak yang selalu bersuara “a,a,a” disebut ’ule a’
Burung Kuau yang bersuara ko, ko, ko disebut ‘Koka’.
Pada waktu melakukan gawi, dengan suara tenor yang khas ‘ata sodha’ mendaraskan syair-syair tradisional dan tiba pada suatu sfeer yang sama ‘ata gawi’ atau peserta secara spontan dan bersemangat menyambung dengan vokal  Oo...o...o.  Dari  syair gawi   ini  mungkin akan ditelusuri lebih mendalam hakekat keberadaan orang LIO.
·         Apa mungkin suku bangsa LIO adalah orang-orang yang berasal dari leluhur atau daerah asal yang memiliki dasar nama  dengan inisial ‘O’ ?
·         Apa mungkin  sejak semula suku bangsa ini adalah bagian  dari kelompok masyarakat yang hanya menuruti saja pendapat orang lain dengan setuju-setuju saja. O....ho’o  (Ya, okey...oke..oke)
Yang pasti dalam bahasa LIO suara vokal  menjadi sangat dominan termasuk vokal O. Beberapa contoh: one (rumah), sao (rumah), kopo (kandang), rongo (kambing), wolo (bukit), deo (pegang), hago (raut), rombo (kantong), ogo (memagar), oso (minta), bogo (berjasa), tebo (badan/fisik), mo (capai, lelah, malas) kolo/.holo (kepala), sombo (bayi perempuan).

تعليقات