Tatanan Tanah Ende Lio

 Struktur Permilikan Tanah
Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Ende, khususnya dikawasan selatan dan tengah, memang menjadi ajang dan andalan kehidupan masyarakat setempat dengan usaha pokok perladangan. Perladangan telah menjadi ikon dan tumpuan sejak nenek moyang mereka berabad-abad silam. Dengan kata lain, lingkungan alam yang kaya dengan bebukitan dan pegunungan yang cukup terjal itu sejak zaman dahulu sudah “ditaklukkan” dengan teknologi perladangan. Itu  pula yang menjadi latar saratnya ritual perladangan bagi Etnik Lio-Ende. Di samping ladang, sawah juga menjadi pilihan garapan lainnya yang telah memperkaya cara hidup dan penghidupan masyarakat setelah budaya sawah diperkenalkan oleh para pesawah dari Bima pada awal abad ke-20 (lihat Sunaryo et.al 2006). Dengan tata irigasi yang memadai terutama berkaitan dengan ketersediaan sumber daya air sungai, sawah hadir secara terbatas di Kabupaten Ende, selain dikembangkan secara cukup intensif di dataran Ma’utenda dan Kotabaru. Perlu dijelaskan bahwa sistem pertanian terpadu (integrated system) sudah berlangsung lama sebagaimana perkembangan kebudayaan pertanian sejak leluhur Austronesia. Dalam komunitas petani Lio-Ende, dikenal pula konsep kuru (juga kopo (h)kasa) dan napu. Kuru dalam konteks ini bermakna padang penggembalaan kerbau, misalnya ada kuru kamba ‘padang penggembalaam kerbau’, sapi, domba, kambing, sedangkan napu adalah perkebunan khusus untuk tanaman keras dan perdagangan. Di kalangan komunitas petani-peladang Lio Ende dikenal istilah napu nio, ‘kebun kelapa’ napu (h)keu ‘kebun pinang’. Masih ada sisa-sisa kuru dan napu, namun dewasa ini banyak yang sudah berubah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi ekologi dan topografi kawasan Lio-Ende yang tergolong sulit dan menantang itu telah membangun budaya dan etos kerja serta keterampilan khusus yang menopang kehidupan komunitas peladang Lio-Ende turun-temurun kendati sawah tergolong sangat terbatas jumlahnya. Justru adanya tantangan ekologi itulah yang kemudian dijawab sebagai kebudayaan, adanya kebiasaan, dan terasahnya keterampilan teknikal dalam mengolah lingkungan hidup yang “ganas” kondisinya itu. Tepatlah pemahaman konsep kebudayaan yang diberikan oleh sejarawan Arnold Toynbee bahwa kebudayaan adalah jawaban suatu kelompok masyarakat atas tantangan alam lingkungan dalam konteks dan demi mempertahankan dan melanjutkan hidup, penghidupan, dan kehidupan manusia itu sendiri. Etos kerja inilah juga yang menjadi kekuatan manusia Lio-Ende.
Kebudayaan perladangan yang dimiliki oleh Etnik Lio-Ende saat ini adalah fakta sejarah bahwa leluhur mereka telah menemukan cara “menaklukkan dan memanfaatkan sumber daya alam khususnya sumber daya lahan” demi kehidupan mereka. Lahan yang terjal dan curam bahkan mungkin awalnya gersang atau juga padang rumput gersang, sementara itu curah hujan yang minim adalah tantangan alam pula. Namun, tantangan itu telah mampu diatasi oleh para leluhur Orang Lio-Ende setelah mereka menaklukkannya lewat tekad, kerja keras, dan perjuangan yang kemudian menghasilkan budaya dan teknologi perladangan dengan tata ritualnya itu. Adalah fakta sejarah dan kebudayaan pula bahwa pola dan teknik perladangan yang diwariskan itu berakumulasi dengan pengalaman mereka mengatasi erosi, memelihara lahan (konservasi), di sisi teknologi perladangan asli yang produktif dan ramah lingkungan. Adalah juga kisah masa lalu, bahwa jikalau mereka mengolah lahan secara benar dan tentunya melalui prosedur ritual yang tepat, kelimpahan hasil panen tahunan, niscaya semuanya itu menjadi prestasi, sekaligus meramu prestise sosial mereka pula. Patut diuraikan bahwa teknologi dan budaya perladangan itu telah melewati masa uji panjang dalam perjalanan sejarah. Terlepas dari kesalahan atau kekurangtepatan penggunaan teknologi tradisional dalam mengolah ladang yang berakibat terbakar dan gersangnya lahan, dan di sisi lain kondisi alam yang ganas dan menantang komunitas peladang Lio-Ende, masyarakat lokal juga telah memiliki kearifan dan teknologi yang ramah lingkungan. Pemeliharan lahan dalam siklus tertentu penghutanan sebelum dibuka kembali menjadi ladang baru, tampak pada pembudidayaan pepohonan dan perdu, penanaman pohon waru (hibiscus) dan (h)kera dan secara khusus juga tanaman denudan ko’u yang multifungsi itu. Lebih daripada itu budaya perladangan etnik setempat telah membangun warna kepribadian berbasiskan perladangan asli, bagaimana mereka mencintai dan mendayagunakan sumber daya lahan,dan menjadi pilar jati diriatau kepribadian. Dikatakan demikian karena perilaku berbasiskan budaya perladangan itu, sesungguhnya secara teratur membina keserasian dan kesinambungan hubungan kosmologis mereka dengan alam (no’o tana watu), dengan Sang Pencipta, dengan leluhur mereka, dan tentunya dengan sesama yang masih hidup.
Berkaitan dengan itu, hubungan kekuasaan atas tanah menjadi dasar gerak budaya perladangan. Kenyataan menunjukkan bahwa setiap keluarga peladang memang berbeda-beda jumlah atau luas ladang dan atau tanah garapan mereka. Secara umum memang ada yang memiliki lahan garapan yang luas dan banyak, sementara ada keluarga peladang yang sedikit bahkan tidak memiliki lahan garapan sama sekali. Kelompok yang terakhir ini hanyalah menunggu belaskasih para pemilik ladang lainnya.
Secara umum ada beberapa jenis lahan, tana, atau ngebo dalam komunitas peladang Lio-Ende. Jenis-jenis lahan, tana atau ngebo adalah: (1) tana nggoro. Lahan garapan jenis ini tergolong warisan paling lama ketika leluhur dulu tiba pertama kali (nggoro wa’u tana deki). (2) Tana guta mbaku atau Tana tego bani  (topo gena), lahan yang diperoleh karena menang perang; (3) tana ngore no’o ome, wa’u no’o wajo, yakni lahan yang dibeli; (4) Tana lawo lambu, te’e lani; lahan yang diperoleh dalam kerangka mahar pernikahan dari pihak perempuan ( Orang Tua Perempuan ) kepada pihak laki-laki ( Orang tua Laki-laki ) dimana karna mahar/ belis yang diberikan dari pihak lelaki terlalu banyak sehingga balasan dari pihak perempuan kepada Pihak laki-laki Memberi lahan/tanah agar hubungan antara keluarga laki dan perempuan tidak akan terputus; (5) Tana pura pu titi oto, toa lele kumi, siki watu lamu. Lahan jenis ini diperoleh karena keberanian membuka hutan dengan segala kemampuan; (6) Tana kuru kamba; lahan jenis ini dimiliki melalui usaha peternakan secara tetap di lokasi tertentu, sebagaimana terungkap uielu metu rota rnosa, tana kum sapu’u, ae sanaku;(7) Tana toko tuka, obo ro, paka baja. Lahan jenis ini diperoleh karena balas jasa seseorang atau suatu kcluarga alas kcbaikan dan pengorbanan mereka;
(8) Tana pu’u kaju koba aje (ura aje); lahan jenis ini diperoleh karena prestasi seseorang atau suatu keluarga; (9) Tana (tebo teo) leo; lahan yang dimiliki sebagai denda atau pepulih karena perzinahan dan atau permesuman (wale pela); (10) Tana dai singi luga ra’i, dai ma’u enga nanga; lahan yang dimiliki karena jasa dan tanggung jawab di daerah perbatasan; (11) Tana mopo, lahan yang dihibahkan oleh komunitas peladang kepada mosalaki sebagai kepala dan pemimpin adat, dan digunakan untuk ritual-ritual tertentu dan pembukaannya untuk dijadikan ladang harus menggunakan kerbau bertanduk; (12) tana laki watu ongga yakni lahan persekutuan untuk ritual-ritual umum; dan (13) Tana leka li’e ro’a yakni lahan di lokasi yang terjal dan yang sulit digarap karena berisiko sangat tinggi. Jenis lahan terakhir ini berkaitan dengan keberanian seseorang yang dapat “menaklukan” medan terjal, Bahkan jenis aur atau bambu yang ditanam di lokasi terjal ini dianggap bernilai tinggi dan dapat digunakan untuk bahan bangunan khusus.
Kemampuan dan daya konservasi dihargai oleh masyarakat. Secara umum, memang lahan garapan terbagi dalam dua kategori, (1) tana nggoro dan (2) tana godo. Tana nggoro memiliki sejarah yang berbeda. Tanah kategori ini seperti diuraikan di atas, jelas berkaitan dengan asal muasal kekerabatan (lihat Wackers, 1997:29; Mbete, 2006:16). Biasanya tanah ini secara simbolis diperkuat pula dengan emas warisan sebagai pusaka suci dan tentunya sejarah lisan yang tertuang  dalam  tuturan  kekerabatan  itu.   Itulah   sebabnya, penyelenggaraan ritual dalam kelender adat menjadi sangat penting karena kisah dan sejarah tanah dan keturunan dari kampung itu selalu dituturkan dan didendangkan kembali oleh Ata Sodha saat memimpin dan mementaskan gawi, tarian massal yang sakral.
Dalam masyarakat Lio-Ende, tana nggoro memang berbeda hakikat dan kedudukannya dengan tana godo. Godo dalam bahasa Lio-Ende mengandung makna “perjuangan, pengorbanan serta jasa” pula. Seperti yang dirincikan di atas, tana godo adalah lahan yang dimiliki atas hasil usaha, misalnya karena pertukaran atau juga karena utang yang tak mampu dibayar oleh orang lain yang digadaikan dengan lahan tertentu. Jikalau hingga batas waktunya uang atau barang yangdigadaikan itu tak dapat dikembalikan oleh penggadai, niscaya lahan garapan sebagai jaminan itu menjadi hak milik seseorang yang telah meminjamkan uang atau barang. Kendatipun diklasifikasikan seperti di atas, status, struktur permilikan, dan fungsi lahan telah pula mengalami perubahan karena perkembangan kebutuhan, tuntutan ekologi, dan kependudukan. Dewasa ini kemajuan ekonomi dari kalangan mana saja, memberikan peluang untuk membeli dan memiliki lahan-lahan baru di lokasi-lokasi strategis, khususnya di sekitar jalan negara.

تعليقات