BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sakramen merupakan
tanda keselamatan Allah kepada manusia yang hadir secara nyata melalui perayaan
iman oleh imam sebagai mempelai Kristus bersama umatnya. Tanda keselamatan
Allah yang diberikan kepada umat sebagai suatu persekutuan umat Allah
dinyatakan lewat kesanggupan iman dan kesediaan untuk menanggapi tanda
keselamatan itu dalam perbuatan iman. Sakramen sebagai tanda keselamatan dan
kehadiran Kristus sesungguhnya dimaknai sebagai perayaan iman dan perayaan
keselamatan sehingga Allah sungguh hidup dan berkarya dalam setiap peristiwa
hidup manusia. Sakramen, dengan demikian menjadi rahmat perjumpaan Allah dengan
umat-Nya sehingga setiap orang yang menerima sakramen memperoleh rahmat keselamatan
dari Allah.
Dalam Gereja Katolik
terdapat tujuh (7) sakramen yang lazimnya diterima sebagai rahmat keselamatan dan
dipercayakan kepada Gereja sebagai sarana yang dengannya rahmat ilahi
diindikasikan oleh tanda yang diterimakan, membantu pribadi penerimanya untuk
berkembang dalam kekudusan serta berkontribusi bagi pertumbuhan Gereja dalam
amal kasih dan kesaksian hidup.
Meskipun sakramen
diyakini sebagai tanda nyata keselamatan Allah, namun sering kali umat Katolik tidak menyadari
pentingnya sakramen dalam kehidupannya. Sakramen sering dianggap sebagai
seremoni liturgis atau aturan Gereja yang harus diterima. Bahkan, ada yang menganggap sakramen sebagai
sesuatu yang bersifat fomalitas, sebagai bentuk kewajiban dari umat dalam menjalankan
ritual keagamaan. Umat bahkan tidak menyadari akan pentingnya sakramen dalam
hidup seiring dengan minimnya pengetahuan tentang sakramen dalam Gereja Katolik.
Gereja Katolik
mengajarkan bahwa dampak dari pemberian sakramen bersifat ex opera operto, yakni
kenyataan bahwa sakramen itu dilayani tanpa memperhitungkan kekudusan pribadi
pelayan yang melayani, kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat
yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi efektivitas sakramen itu bagi
yang bersangkutan. Pada hakikatnya sakramen memerlukan adanya tanggapan iman,
kata-kata dan elemen-elemen ritual yang dapat menyuburkan, menguatkan, dan
memberi ekspresi bagi iman. (Kompedium Katekismus Gereja Katolik, 224).
Berdasarkan latar
belakang pemikiran di atas, maka dalam makalah ini Penulis ingin mengangkat tulisan
tentang pentingnya sakramen dalam Gereja Katolik.
2.2.
Tujuan Penulisan
2.2.1.
Tujuan Umum
1. Agar
pembaca memahami pentingnya sakramen bagi kehidupan umat Katolik.
2. Agar
pembaca yang non-Katolik dapat mengetahui tentang sakramen yang ada dalam Gereja
Katolik.
3. Agar
umat Katolik mengetahui secara lebih dalam mengenai pelaksanaan sakramen dalam Gereja
Katolik.
2.2.2.
Tujuan Khusus
Tulisan dalam makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama
Katolik sebagai syarat akademis sekaligus melatih tanggung jawab penulis dalam
mengikuti setiap proses perkuliahan.
2.3.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sakramen dalam Gereja Katolik?
2. Apa manfaat dari sakramen bagi umat Katolik?
3. Apa saja yang termasuk sakramen dalam Gereja Katolik?
4. Siapakah yang menciptakan sakramen?
2.4. Sistematika Penulisan
Tulisan ini
dibagi dalam tiga pokok pembahasan, yaitu:
BAB I.
PENDAHULUAN, yang berisikan latar belakang penulisan, tujuan dari penulisan,
rumusan masalah serta sistematika penulisan.
BAB II. PEMBAHASAN,
yang berisikan pokok pembahasan tulisan ini, seperti: sakramen: selayang
pandang, validitas dan keabsahan pelayanan sakramen-sakramen, apa pentingnya
sakramen dalam kehidupan kita, mengapa Tuhan mendirikan sakramen, mengapa
harus ada tujuh sakramen dalam gereja Katolik, siapa yang menciptakan sakramen,
akibat utama yang dihasilkan oleh sakramen, dasar biblis sakramen-sakramen
dalam Gereja Katolik, dan istilah-istilah dalam sakramen.
BAB
III. PENUTUP, yang berisikan tentang kesimpulan dari tulisan dan saran dari
penulis.
BAB
II
SAKRAMEN
2.1.
Sakramen; Selayang Pandang
2.1.1.
Pengertian sakramen
Sakramen berasal dari
kata ‘mysterion’ (Yunani), yang dijabarkan dengan kata ‘mysterium’ dan
’sacramentum’ (Latin). Kata ‘sacramentum’ dipakai untuk menjelaskan tanda yang
kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan yang disebut sebagai
‘mysterium‘. Kitab Suci menyampaikan dasar pengertian sakramen sebagai misteri/
‘mysterium‘ kasih Allah, yang diterjemahkan sebagai “rahasia yang tersembunyi
dari abad ke abad tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya”
(Kol 1: 26, Rom 16:25). Rahasia/ ‘misteri’ keselamatan ini tak lain dan tak
bukan adalah Kristus (Kol 2:2; 4:3; Ef 3:3) yang hadir di tengah-tengah kita
(Kol 1:27). Jadi sakramen-sakramen Gereja merupakan tanda yang kelihatan dari
rahasia/ misteri Kristus yang tak kelihatan dan yang bekerja di dalam
Gereja-Nya oleh kuasa Roh Kudus. Betapa nyatanya ‘rahasia’ ini diungkapkan di
dalam sakramen-sakramen Gereja, terutama di dalam Ekaristi.
Mengacu pada pengertian
ini, maka Gereja sendiri adalah “Sakramen Keselamatan” yang menjadi tanda rahmat
Allah dan sarana yang mempersatukan Allah dan manusia. Sebagaimana Yesus yang
mengambil rupa manusia menjadi “Sakramen” dari Allah sendiri, maka Gereja
sebagai Tubuh Kristus menjadi “Sakramen” Kristus. Artinya, di dalam Gereja,
kuasa ilahi yang membawa kita kepada keselamatan bekerja melalui tanda yang
kelihatan.
Di dalam perannya
sebagai “Sakramen Keselamatan” inilah, Gereja dipercaya oleh Kristus untuk
membagikan rahmat Tuhan di dalam ketujuh sakramen. Jadi sakramen tidaklah hanya
sebagai tanda atau lambang, tetapi juga sebagai pemenuhan makna dari tanda itu
sendiri, yaitu rahmat pengudusan untuk keselamatan kita. sehingga Gereja
mengajarkan bahwa dengan mengambil bagian di dalam sakramen, kita diselamatkan,
karena melalui Kristus, kita dipersatukan dengan Allah sendiri.
Ketujuh sakramen ini
menjadi tanda akan sesuatu yang terjadi sekarang, sesuatu yang terjadi di masa
lampau, dan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. Jadi semua
sakramen tidak hanya membawa rahmat pengudusan (sekarang), namun juga
menghadirkan Misteri Paska Kristus (lampau) yang menjadi sumber kekudusan, dan
menjadi gambaran akan kebahagiaan surgawi sebagai akhir dari pengudusan kita
(yang akan datang). Dengan berpartisipasi di dalam sakramen inilah kita
mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi yang tidak mengenal batas waktu; di
dalam kehidupan Kristus yang mengatasi segala sesuatu.
2.1.2
Jenis-Jenis Sakramen dalam Gereja Katolik
2.1.2.1.
Sakramen Inisiasi
A.
Sakramen Pembaptisan
Pembaptisan adalah
sakramen pertama dan mendasar dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini dilayani
dengan cara menyelamkan si penerima ke dalam air atau dengan mencurahkan (tidak
sekedar memercikkan) air ke atas kepala si penerima "dalam nama Bapa dan
Putra dan Roh kudus" (Matius 28:19). Pelayan sakramen ini biasanya seorang
uskup atau imam, atau seorang diakon dalam Gereja Latin. Dalam keadaan darurat,
siapa pun yang berniat untuk melakukan apa yang dilakukan Gereja, bahkan jika
orang itu bukanlah seorang Kristiani, dapat membaptis.
Sakramen Pembaptisan
membebaskan penerimanya dari dosa asal serta semua dosa pribadi dan dari
hukuman akibat dosa-dosa tersebut, dan membuat orang yang dibaptis itu
mengambil bagian dalam kehidupan Tritunggal Allah melalui "rahmat yang
menguduskan" (rahmat pembenaran yang mempersatukan pribadi yang
bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya). Pembaptisan juga membuat
penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan komuni
(persekutuan) antar semua orang Kristen. Pembaptisan menganugerahkan kebajikan-kebajikan
"teologis" (iman, harapan dan kasih) dan karunia-karunia Roh Kudus.
Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti
orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus.
Ada pun buah atau rahmat
dari sakramen Baptis:
1. Mendapat
pengampunan dari segala dosa, baik dosa asal maupun dosa yang dibuatnya.
2. Menjadi
“ciptaan baru” dan dilantik menjadi anak Allah.
3. Memperoleh
rahmat pengudusan yang: a).membuatnya sanggup semakin percaya kepada Allah,
berharap kepada-Nya, dan mencintai-Nya.b). Membuatnya hidup di bawah bimbingan
dan dorongan Roh Kudus.c) Membuatnya sanggup bertumbuh dalam kebaikan
4. digabungkan
menjadi anggota Gereja, sebagai bagian dari Tubuh Mistik Kristus
5. Dimeteraikan
secara kekal dalam sebuah meterai rohani yang tak terhapuskan, sebagai bagian
dari Kristus.
Macam-macam
Baptisan:
a. Baptisan
bayi : baptisan yang diterima saat masih bayi
b. Baptisan
dewasa: baptisan yang diterima saat sudah dewasa
c. Baptisan
rindu: saat seseorang ingin dibaptis dan ingin menjadi anggota Gereja Katolik,
menjalani masa katekumenat namun sebelum dibaptis, ia sudah meninggal. Maka ia
sudah menerima baptisan rindu
d. Baptisan
darah: saat seseorang ingin dibaptis dan ingin menjadi anggota Gereja Katolik,
menjalani masa katekumenat namun sebelum dibaptis, ia sudah meninggal karena
membela imannya.
B.
Sakramen Penguatan
Sakramen Penguatan atau
Krisma adalah sakramen ketiga dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini diberikan
dengan cara mengurapi penerimanya dengan minyak Krisma, minyak yang telah
dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa khusus yang
menunjukkan bahwa, baik dalam variasi Barat maupun Timurnya, karunia Roh Kudus
menandai si penerima seperti sebuah meterai. Melalui sakramen ini, rahmat yang
diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan diperdalam" (KGK 1303).
Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus
dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan
yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut.
Pelayan sakramen
ini adalah seorang uskup yang ditahbiskan secara sah; jika seorang imam
(presbiter) melayankan sakramen ini — sebagaimana yang biasa dilakukan dalam
Gereja-Gereja Timur dan dalam keadaan-keadaan istimewa (seperti pembabtisan orang
dewasa atau seorang anak kecil yang sekarat) dalam Gereja Ritus-Latin (KGK
1312–1313) hubungan dengan jenjang imamat di atasnya ditunjukkan oleh minyak
(dikenal dengan nama krisma atau myron) yang telah diberkati oleh uskup dalam
perayaan Kamis Putih atau pada hari yang dekat dengan hari itu. Di Timur
sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana
administrasi biasanya dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami
arti pentingnya, sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal
kedewasaan; biasanya setelah yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen
Ekaristi, sakramen ketiga dari inisiasi Kristiani. Kian lama kian dipulihkan
urut-urutan tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini, yakni diawali dengan pembaptisan,
kemudian penguatan, barulah Ekaristi. rikan dengan cara mengurapi penerimanya
dengan Krisma, minyak yang telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma
khas, disertai doa khusus yang menunjukkan bahwa, baik dalam variasi Barat
maupun Timurnya, karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai.
Melalui sakramen ini,
rahmat yang diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan diperdalam"
(KGK 1303). Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si
penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang
diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut.
Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup yang ditahbiskan secara sah; jika seorang
imam (presbiter) melayani sakramen ini sebagaimana yang biasa dilakukan dalam
Gereja-Gereja Timur dan dalam keadaan-keadaan istimewa (seperti pembabtisan
orang dewasa atau seorang anak kecil yang sekarat) dalam Gereja Ritus-Latin
(KGK 1312–1313), hubungan dengan jenjang imamat di atasnya ditunjukkan oleh
minyak (dikenal dengan nama krisma atau myron) yang telah diberkati oleh uskup
dalam perayaan Kamis Putih atau pada hari yang dekat dengan hari itu. Di Timur
sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana
administrasi biasanya dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami
arti pentingnya, sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal
kedewasaan; biasanya setelah yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen
Ekaristi, sakramen ketiga dari inisiasi Kristiani. Kian lama kian dipulihkan
urut-urutan tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini, yakni diawali dengan
pembaptisan, kemudian penguatan, barulah Ekaristi.
Ada pun Rahmat dalam
Sakramen Krisma:
1) Menjadikan kita
sungguh anak Allah
2) Menyatukan lebih
teguh dengan Kristus
3) Menambahkan karunia
Roh Kudus ke dalam diri kita
4) Mengikat kita lebih
sempurna dengan Gereja
5) Menganugerahkan
kepada kita kekuatan Roh Kudus
C.
Sakramen Ekaristi
Ekaristi adalah
sakramen (yang kedua dalam inisiasi Kristiani) yang dengannya umat Katolik
mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus serta turut serta dalam
pengorbanan diri-Nya. Aspek pertama dari sakramen ini (yakni mengambil bagian
dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus) disebut pula Komuni Suci. Roti (yang harus
terbuat dari gandum, dan yang tidak diberi ragi dalam ritus Latin, Armenia dan
Ethiopa, namun diberi ragi dalam kebanyakan Ritus Timur) dan anggur (yang harus
terbuat dari buah anggur) yang digunakan dalam ritus Ekaristi, dalam iman
Katolik, ditransformasi dalam segala hal kecuali wujudnya yang kelihatan
menjadi Tubuh dan Darah Kristus, perubahan ini disebut transubstansiasi. Hanya
uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak
selaku pribadi Kristus sendiri. Diakon serta imam biasanya adalah pelayan
Komuni Suci, umat awam dapat diberi wewenang dalam lingkup terbatas sebagai
pelayan luar biasa Komuni Suci.
Ekaristi dipandang
sebagai "sumber dan puncak" kehidupan Kristiani, tindakan pengudusan
yang paling istimewa oleh Allah terhadap umat beriman dan tindakan penyembahan
yang paling istimewa oleh umat beriman terhadap Allah, serta sebagai suatu
titik dimana umat beriman terhubung dengan liturgi di surga. Betapa pentingnya
sakramen ini sehingga partisipasi dalam perayaan Ekaristi (Misa) dipandang
sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta
dianjurkan untuk hari-hari lainnya. Dianjurkan pula bagi umat yang
berpartisipasi dalam Misa untuk, dalam kondisi rohani yang layak, menerima
Komuni Suci. Menerima Komuni Suci dipandang sebagai kewajiban
sekurang-kurangnya setahun sekali selama masa Paskah.
2.1.2.2.
Sakramen Penyembuhan
A.
Sakramen Rekonsiliasi
Sakramen rekonsiliasi
adalah yang pertama dari kedua sakramen penyembuhan, dan juga disebut Sakramen
Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat, dan Sakramen Pengampunan(KGK 1423–1424).
Sakramen ini adalah sakramen penyembuhan rohani dari seseorang yang telah
dibaptis yang terjauhkan dari Allah karena telah berbuat dosa. Sakramen ini
memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya
(tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam
(boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa
kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan
sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan.
"Banyak dosa yang
merugikan sesama. Seseorang harus melakukan melakukan apa yang mungkin
dilakukannya guna memperbaiki kerusakan yang telah terjadi (misalnya,
mengembalikan barang yang telah dicuri, memulihkan nama baik seseorang yang
telah difitnah, memberi ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan). Keadilan
yang sederhana pun menuntut yang sama. Akan tetapi dosa juga merusak dan
melemahkan si pendosa sendiri, serta hubungannya dengan Allah dan sesama. Si
pendosa yang bangkit dari dosa tetap harus memulihkan sepenuhnya kesehatan
rohaninya dengan melakukan lagi sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya: dia
harus 'melakukan silih bagi' atau 'memperbaiki kerusakan akibat' dosa-dosanya.
Penyilihan ini juga disebut 'penitensi'" (KGK 1459). Pada awal abad-abad
Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi,
namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus
dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai
suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya.
Imam yang bersangkutan
terikat oleh "meterai pengakuan dosa", yang tak boleh dirusak.
"Oleh karena itu, benar-benar salah bila seorang konfesor (pendengar
pengakuan) dengan cara apapun mengkhianati peniten, untuk alasan apapun, baik
dengan perkataan maupun dengan jalan lain" (kanon 983 dalam Hukum
Kanonik). Seorang konfesor yang secara langsung merusak meterai sakramental
tersebut otomatis dikenai ekskomunikasi (hukuman pengucilan) yang hanya dapat
dicabut oleh Tahta Suci (kanon 1388).
B.
Sakramen Pengurapan Orang Sakit
Pengurapan Orang Sakit
adalah sakramen penyembuhan yang kedua. Dalam sakramen ini seorang imam
mengurapi si sakit dengan minyak yang khusus diberkati untuk upacara ini.
"Pengurapan orang sakit dapat dilayankan bagi setiap umat beriman yang,
karena telah mencapai penggunaan akal budi, mulai berada dalam bahaya yang
disebabkan sakit atau usia lanjut" (kanon 1004; KGK 1514). Baru menderita
sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat
diterima berkali-kali oleh seseorang.
Dalam tradisi Gereja
Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul
maut, sehingga dikenal pula sebagai "Pengurapan Terakhir", yang
dilayankan sebagai salah satu dari "Ritus-Ritus Terakhir".
"Ritus-Ritus Terakhir" yang lain adalah pengakuan dosa (jika orang
yang sekarat tersebut secara fisik tidak memungkinkan untuk mengakui dosanya,
maka minimal diberikan absolusi, yang tergantung pada ada atau tidaknya
penyesalan si sakit atas dosa-dosanya), dan [[Ekaristi[[, yang bilamana
dilayankan kepada orang yang sekarat dikenal dengan sebutan
"Viaticum", sebuah kata yang arti aslinya dalam bahasa Latin adalah
"bekal perjalanan".
2.1.2.3.
Sakramen Panggilan
A.
Sakramen Imamat
Imamat atau Pentahbisan
adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan uskup, imam, atau diakon,
sehingga penerima sakramen ini dibaktikan sebagai citra Kristus. Hanya uskup
yang boleh melayankan sakramen ini.
Pentahbisan seseorang
menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen Imamat baginya, menjadikannya
anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan memberi dia misi untuk
mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai kepedulian dari semua Gereja.
Pentahbisan seseorang
menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam
Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang
bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis
lainnya, teristimewa Ekaristi.
Pentahbisan seseorang
menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang,
menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada
Kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan
dalam memberitakan firman Allah.
Orang-orang yang
berkeinginan menajdi imam dituntut oleh Hukum Kanonik (Kanon 1032 dalam Kitab
Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari yang selain berisi studi
filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup suatu program formasi yang
meliputi pengarahan rohani, berbagai retreat, pengalaman apostolat (semacam
Kuliah Kerja Nyata), dst. Proses pendidikan sebagai persiapan untuk pentahbisan
sebagai diakon permanen diatur oleh Konferensi Wali Gereja terkait.
B.
Sakramen Pernikahan
Pernikahan atau
perkawinan, seperti Imamat, adalah suatu sakramen yang mengkonsekrasi
penerimanya guna suatu misi khusus dalam pembangunan Gereja, serta
menganugerahkan rahmat demi perampungan misi tersebut. Sakramen ini, yang
dipandang sebagai suatu tanda cinta-kasih yang menyatukan Kristus dengan
Gereja, menetapkan di antara kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat permanen
dan eksklusif, yang dimeteraikan oleh Allah. Dengan demikian, suatu pernikahan
antara seorang pria yang sudah dibaptis dan seorang wanita yang sudah dibaptis,
yang dimasuki secara sah dan telah disempurnakan dengan persetubuhan, tidak
dapat diceraikan sebab di dalam kitab suci tertulis Justru karena ketegaran
hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia,
Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus
tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: ”Barangsiapa menceraikan
isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap
isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan
laki-laki lain, ia berbuat zinah." (mrk. 10:1–12)
Sakramen ini
menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang mereka perlukan
untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta untuk
menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab.
Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan imam (atau saksi lain yang
ditunjuk oleh Gereja) serta saksi-saksi lainnya, meskipun dalam tradisi
teologis Gereja Latin yang melayankan sakramen ini adalah kedua pasangan yang
bersangkutan.
Demi kesahan suatu
pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus mengutarakan niat dan
persetujuan-bebas (persetujuan tanpa paksaan) masing-masing untuk saling
memberi diri seutuhnya, tanpa memperkecualikan apapun dari hak-milik esensial
dan maksud-maksud perkawinan. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang
Kristen non-Katolik, maka pernikahan mereka hanya dinyatakan sah jika telah
memperoleh izin dari pihak berwenang terkait dalam Gereja Katolik. Jika salah
satu dari keduanya adalah seorang non-Kristen (dalam arti belum dibaptis), maka
diperlukan izin dari pihak berwenang terkait demi sahnya pernikahan.
2.2.
Validitas dan Keabsahan Pelayanan Sakramen-Sakramen
Sebagaimana dijelaskan
di atas, efek dari sakramen-sakramen timbul ex
opere operato (oleh kenyataan bahwa sakramen-sakramen tersebut dilayani).
Karena Kristus sendiri yang bekerja melalui sakramen-sakramen, maka efektivitas
sakramen-sakramen tidak tergantung pada kelayakan si pelayan.
Meskipun demikian,
sebuah pelayanan sakramen yang dapat dipersepsi akan invalid, jika orang yang
bertindak selaku pelayan tidak memiliki kuasa yang diperlukan untuk itu,
misalnya jika seorang diakon merayakan Misa. Sakramen-sakramen juga invalid
jika "materi" atau "formula"nya kurang sesuai dari pada
yang seharusnya. Materi adalah benda material yang dapat dipersepsi, seperti
air (bukannya anggur) dalam pembaptisan atau roti dari tepung gandum dan anggur
dari buah anggur (bukannya kentang dan bir) untuk Ekaristi, atau tindakan yang
nampak. Formula adalah pernyataan verbal yang menyertai pemberian materi,
seperti (dalam Gereja Barat), "N., Aku membaptis engkau dalam nama Bapa,
dan Putera, dan Roh Kudus". Lebih jauh lagi, jika si pelayan positif
mengeluarkan beberapa aspek esensial dari sakramen yang dilayankannya, maka
sakramen tersebut invalid. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci
pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.
Sebuah sakramen dapat
dilayankan secara valid, namun tidak sah, jika suatu syarat yang diharuskan
oleh hukum tidak dipenuhi. Kasus-kasus yang ada misalnya pelayanan sakramen
oleh seorang imam yang tengah dikenai hukuman ekskomunikasi atau suspensi, dan
pentahbisan uskup tanpa mandat dari Sri Paus.
Hukum kanonik merinci
halangan-halangan (impedimenta) untuk menerima sakramen imamat dan pernikahan.
Halangan-halangan sehubungan dengan sakramen imamat hanya menyangkut soal
keabsahannya, tetapi "suatu halangan yang bersifat membatalkan dapat
menjadikan seseorang tidak berkapasitas untuk secara valid untuk mengikat suatu
janji pernikahan" (kanon 1073).
Dalam Gereja Latin,
hanya Tahta Suci yang secara otentik dapat mengeluarkan pernyataan bilamana
hukum ilahi melarang atau membatalkan suatu pernikahan, dan hanya Tahta Suci
yang berwenang untuk menetapkan bagi orang-orang yang sudah dibaptis
halangan-halangan pernikahan (kanon 1075). Adapun masing-masing Gereja Katolik
Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi
dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat
menetapkan halangan-halangan (Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792).
Jika suatu halangan
timbulnya hanya karena persoalan hukum Gerejawi belaka, dan bukannya menyangkut
hukum ilahi, maka Gereja dapat memberikan dispensasi dari halangan tersebut.
Syarat-syarat bagi
validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan (kanon
1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan dilakukan
di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili
mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam
Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya.
Ada tiga sakramen yang
tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat
permanen. Ajaran ini telah diekspresikan di Barat dengan citra-citra dari
karakter atau tanda, dan di Timur dengan sebuah meterai (KGK 698). Akan tetapi,
jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih
sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional
pemberian sakramen misalnya: "Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis
engkau …"
2.3.
Apa Pentingnya Sakramen Dalam Kehidupan Kita?
Banyak orang berpikir
bahwa iman itu hanya menyangkut kerohanian, dan tidak ada sangkut pautnya
dengan hal jasmani. Namun sesungguhnya tidak demikian, karena manusia
diciptakan Allah terdiri dari jiwa dan tubuh. Jadi apa yang kita imani
selayaknya memancar keluar melalui sikap tubuh, dan sebaliknya apa yang
terlihat dari luar mencerminkan apa yang kita imani di dalam hati. Hal ini yang
mendasari bahwa segala yang menyangkut manusia selalu menyangkut dua hal: tubuh
dan jiwa, jasmani dan rohani, dan kedua hal ini tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia.
Prinsip kedua adalah
kemurahan hati Allah yang mengangkat kita dari ketidakberdayaan kita sebagai
manusia, agar kita dapat memahami dan mengingini hal-hal ilahi, karena untuk
itulah kita diciptakan dan ke sanalah hidup kita akan berakhir. Rahmat Ilahi
ini hanya datang dari Allah, dan kita memperolehnya lewat sakramen -sakramen.
Sakramen mengubah kita secara rohani: kita diangkat menjadi ilahi, agar dapat
dibentuk oleh Allah menjadi semakin serupa dengan DiriNya.
Prinsip ‘jiwa dan
tubuh’, ‘grace and nature’
Prinsip ‘tubuh dan
jiwa’ ini yang mendasasri adanya sakramen di dalam Gereja. Gereja yang dijiwai
oleh Roh Kristus, juga terdiri dari ‘Tubuh’ yang kelihatan, yaitu umat yang
dipimpin oleh para pemimpin Gereja. Selanjutnya, rahmat Tuhan yang dicurahkan
di dalam Gereja dapat juga dirasakan secara jasmani di dalam sakramen-sakramen.
Karenanya Gereja mempunyai aspek Ilahi dan manusiawi, rohani dan jasmani, yang
tak kelihatan dan yang kelihatan, dan semuanya itu dipersatukan di dalam
misteri Kristus. Di dalam Kristuslah segala sesuatu diperdamaikan, dipersatukan
dan disempurnakan (lih. Kol 1:19-22).
Jadi Allah tidak
mungkin merendahkan tubuh, namun menyempurnakan dan memuliakannya untuk
dipersatukan dengan jiwa, sebab Ia-lah yang menjadikan keduanya pada awal mula
penciptaan dengan sangat baik adanya (Kej 2:31). “Rahmat tidak menghancurkan
segala yang bersifat material /lahiriah, melainkan menyempurnakannya (grace
does not destroy nature but perfects it),” kata St. Thomas Aquinas. Maka
walaupun dosa memang telah ‘mencemari’ tubuh, namun tidak menjadikannya sama
sekali tidak bernilai, karena kuasa dosa tidak mungkin lebih besar dari kuasa
Allah. Allah mencurahkan rahmat-Nya untuk mengembalikan tubuh kepada keadaan
asalnya. Karena itu, sudah menjadi kehendak Allah bahwa segala rahmat ilahi
dapat dialami dan dirasakan oleh tubuh, supaya oleh rahmat-Nya kita dipulihkan
dari akibat dosa, dan tubuh kita ‘diangkat’ sehingga bernilai ilahi. Jadi
walaupun rahmat Allah itu pertama-tama bersifat rohani, namun rahmat itu tidak
mengabaikan segala yang bersifat lahiriah. Jangan kita lupa, Allah adalah Tuhan
atas segala sesuatu dan adalah hak Tuhan untuk menyampaikan rahmatNya melalui
perantaraan benda-benda ciptaanNya untuk menyembuhkan, menguduskan dan
membentuk kita menjadi tempat kediaman dan Bait Kudus-Nya (1 Kor 3:16).
Janganlah kita lupa,
bahwa karena akibat dosa asal, terdapat jurang yang tak terpisahkan antara Tuhan
Pencipta dan manusia yang diciptakanNya. Kita manusia hanya dapat ‘terangkat’
dari jurang melalui jasa Kristus Penyelamat kita. Jasa Kristus itu secara nyata
kita peroleh lewat sakramen-sakramen, yang memang disediakan Tuhan untuk
mengangkat kita agar dapat mengambil bagian dalam kehidupan Ilahi seperti yang
menjadi rencana-Nya sejak semula. Maka jika Tuhan menghendaki agar kita hidup
kudus, dan bertumbuh dalam kasih, hal itu bukannya ‘asal perintah’ saja, sebab,
Tuhan sendiri menyediakan jalan untuk menuju ke sana. Allah mengetahui bahwa
dengan mengandalkan kemampuan sendiri, kita tidak akan dapat menjadi kudus dan
memiliki kasih sejati; oleh karena itu, Ia memberikan rahmat-Nya, melalui
sakramen-sakramen, sebagai suatu tanda sederhana yang dapat kita rasakan
melalui tubuh kita, namun menghasilkan efek luar biasa di dalam jiwa kita. Kita
dibentuk oleh Allah untuk menjadi bagian dari DiriNya sendiri. DiberikanNya
pada kita kehidupan IlahiNya, supaya kita dapat bertumbuh dalam iman, harapan
dan kasih. Oleh rahmat ini kita dapat menjalin persahabatan dengan Tuhan, dan
sedikit demi sedikit, kita bertumbuh sebagai gambaran Allah sendiri.
2.4.
Siapa yang Menciptakan Sakramen?
Allah melalui Kristus
adalah Pencipta Sakramen. Sakramen mengandung kuasa yang mencapai kedalaman
jiwa seseorang, dan hanya Allah yang mampu melakukan hal itu. Jadi walaupun
disampaikan oleh para imam, sakramen-sakramen Gereja tersebut merupakan karya
Kristus. Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benedict XVI) menyatakan, dari sisi
pandang imam sebagai penerus para rasul, sakramen berarti, “Aku memberikan apa
yang tidak dapat kuberikan sendiri; aku melakukan apa yang bukan pekerjaanku
sendiri… aku (hanyalah) membawakan sesuatu yang dipercayakan kepadaku.”
Jadi Kristuslah yang
oleh kuasa Roh Kudus bekerja melalui para imam-Nya di dalam sakramen-sakramen.
Pada sakramen Pembaptisan, Kristus sendirilah yang membaptis, demikian juga
pada sakramen Pengakuan Dosa, Kristus sendiri yang mengampuni melalui imam-Nya,
dan di dalam Ekaristi, Ia sendiri yang memberikan Tubuh dan DarahNya untuk
menjadi santapan rohani kita, sehingga kita dipersatukan dengan-Nya dan dengan
sesama umat beriman di dalam ikatan persaudaraan sejati.
2.5.
Mengapa Tuhan Mendirikan Sakramen?
Alasan pertama yaitu
karena keterbatasan pemikiran manusia yang memahami sesuatu menurut perantaraan
benda-benda yang kelihatan. Keterbatasan manusia ini yang menyebabkan adanya
“sunat” untuk menandai perjanjian Allah dengan umat Israel pada Perjanjian
Lama, yang disempurnakan menjadi Pembaptisan di dalam Perjanjian Baru.
Kedua, karena pemikiran
manusia selalu menginginkan tanda sebagai pemenuhan janji. Kita melihat dalam
masa Perjanjian Lama bagaimana Allah memberikan tanda-tanda yang menyertai
bangsa Israel sampai ke Tanah Terjanji. Hal yang sama diberikan di dalam
Perjanjian Baru yang merupakan pemenuhan dari Perjanjian Lama.
Ketiga, sakramen
menjadi sesuatu yang selalu ada sebagai ‘obat’ rohani demi kesembuhan jiwa dan
raga. Hal ini dapat kita lihat pada saat Yesus menyembuhkan orang buta dengan ludahNya
yang dicampur dengan tanah (Yoh 9:6). Yesus sendiri menggunakan ‘benda
perantara’ untuk menyampaikan rahmat penyembuhan-Nya. Dengan menerima sakramen,
kita seumpama wanita perdarahan yang disembuhkan dengan menyentuh jubah Yesus
(Mrk 5:25-34).
Keempat, sakramen
adalah tanda/ lambang yang menandai umat beriman.
Dan yang terakhir,
sakramen merupakan perwujudan iman, “karena dengan hati orang percaya dan
dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom 10:10). Iman ini
mendasari kebajikan Ilahi yang lain yaitu pengharapan dan kasih, dan
ketiga hal ini menghantarkan kita kepada kekudusan, yaitu hal yang diinginkan
Allah pada kita. Melalui sakramen kita mengambil bagian dalam hidup Ilahi,
sehingga di akhir hidup kita nanti, kita dapat sungguh bersatu dengan Tuhan
dalam keabadian surga.
2.6.
Mengapa Harus Ada Tujuh Sakaramen Dalam Gereja Katolik?
Mungkin ada orang
bertanya, mengapa ada tujuh sakramen? Alasannya adalah karena terdapat hubungan
yang erat antara kehidupan rohani dan jasmani. Secara jasmani ada tujuh tahap
penting kehidupan: kita lahir, tumbuh menjadi dewasa karena makan. Jika sakit
kita berobat, dan di dalam hidup kita dapat memilih untuk tidak menikah atau
menikah. Lalu setelah selesai menjalani hidup, kita meninggal dunia. Nah,
sekarang mari kita lihat bagaimana sakramen menguduskan tahap-tahap tersebut di
dalam kerohanian kita.
Kelahiran kita secara
rohani ditandai dengan sakramen Pembaptisan, di mana kita dilahirkan kembali di
dalam air dan Roh (Yoh 3:5), yaitu di dalam Kristus sendiri. Kita diteguhkan
oleh Roh Kudus dan menjadi dewasa dalam iman melalui sakramen Penguatan (Kis
1:5). Kita bertumbuh karena mengambil bagian dalam sakramen Ekaristi yang
menjadi santapan rohani (Yoh 6: 51-56). Jika rohani kita sakit, atau kita
berdosa, kita dapat disembuhkan melalui pengakuan dosa dalam sakramen Tobat/
Pengakuan dosa, di mana melalui perantaraan iman-Nya Tuhan Yesus mengampuni
kita (Yoh 20: 22-23). Lalu jika kita terpanggil untuk hidup selibat untuk
Kerajaan Allah, Allah memberikan kuasa untuk melakukan tugas-tugas suci melalui
penerimaan sakramen Tahbisan Suci/ Imamat (Mat 19:12). Sedangkan jika kita
terpanggil untuk hidup berkeluarga, kita menerima sakramen Perkawinan (Mat
19:5-6). Akhirnya, pada saat kita sakit jasmani ataupun saat menjelang ajal,
kita dapat menerima sakramen Pengurapan orang sakit, yang dapat membawa rahmat
kesembuhan ataupun persiapan bagi kita untuk kembali ke pangkuan Allah Pencipta
(Yak 5:14).
Pengajaran tentang
adanya tujuh sakramen ini kita terima dari Tradisi Suci, yang kita percayai
berasal dari Kristus. Ketujuh sakramen ini ditetapkan melalui Konsili di Trente
(1564) untuk menolak bahwa hanya ada dua sakramen Baptis dan Ekaristi menurut
pandangan gereja Protestan. Sebagai umat Katolik, kita mematuhi apa yang
ditetapkan oleh Magisterium Gereja Katolik, sebab mereka -lah penerus para
rasul, yang meneruskan doktrin para rasul dengan kemurniannya.
2.7.
Akibat Utama yang Dihasilkan oleh Sakramen
Pertama, adalah rahmat
pengudusan. Rahmat ini merupakan pemenuhan janji Kristus yang dituliskan oleh
Rasul Paulus, bahwa Kristus mengasihi Gereja-Nya dan menyerahkan diri-Nya
baginya untuk menguduskannya, menyucikannya dengan air dan firman (Ef 5:26).
Rahmat ini diberikan pada setiap orang untuk hidup bagi Tuhan, dan kepada Gereja
secara keseluruhan untuk meningkatkan kasih dan misi pewartaan.
Kedua, dengan menerima
dan mengambil bagian di dalam sakramen, kita berpartisipasi di dalam kehidupan
Yesus, dan melalui Yesus kita berpartisipasi di dalam kehidupan Allah
Tritunggal Maha Kudus. Keikutsertaan kita dalam kehidupan Yesus, terutama dalam
Misteri Paska ini mengantar kita kepada keselamatan kekal. Manusia melalui
usahanya sendiri tidak dapat mencapai keselamatan, karena keselamatan
pertama-tama karunia Allah (lih. Ef 2:5,8) yang kita terima melalui Yesus
Kristus. Sebab oleh akibat dosa asal kita terpisah dari Tuhan, dan Kristus
mempersatukan kita kembali dalam kehidupan-Nya melalui sakramen-sakramen.
Melalui sakramen kita disatukan dengan Tuhan, dan diubah menjadi menyerupai
Dia; tubuh kita yang fana menerima yang ilahi dan hati kita diisi oleh
kebajikan-kebajikan yang berasal dari Allah sendiri, terutama dalam hal iman,
pengharapan dan kasih.
Ketiga, ketiga sakramen
yaitu Pembaptisan, Penguatan dan Tahbisan suci, memberikan ‘karakter’ yang
terpatri di dalam jiwa seseorang yang menerima sakramen tersebut. Pembaptisan
menjadikannya anak angkat Allah, Penguatan menjadikannya sebagai ’serdadu’
Kristus, dan Tahbisan suci menjadikannya imam yang diberi kuasa untuk
menguduskan dan menerimakan sakramen-sakramen. Karena karakter khusus inilah,
maka ketiga sakramen ini hanya dapat diterima satu kali saja.
Agar kita
menerima “buah” yang berguna melalu sakaramen adalah kita harus mengetahui,
menghargai dan menghormati rahmat ilahi yang diberikan melalui
sakramen-sakramen ini. Lalu, karena kita mengetahui bahwa Allah sendiri yang
memberikan rahmat-Nya, maka kita harus memperlakukan rahmat itu dengan hormat
dan dengan semestinya, dan dengan sikap yang benar, terutama dalam sakramen
Tobat dan Ekaristi, agar kita dapat menghasilkan buahnya. Kita harus
mempersiapkan diri dan berpartisipasi pada saat kita menerima sakramen-sakramen
dalam perayaan liturgi Gereja.
Kita mengetahui bahwa
Yesuslah yang memerintahkan pemberian sakramen-sakramen tersebut melalui
ajaran-ajaranNya. Karena berasal dari Kristus, rahmat itu adalah karunia yang
sempurna, yang diberikan oleh kuasa Roh Kudus, yang dapat menembus jiwa untuk
mendatangkan kesembuhan rohani, dan mendatangkan keselamatan yang tak ternilai
harganya.
2.8.
Dasar Biblis Sakramen-Sakramen dalam Gereja Katolik
Ketujuh sakramen
(Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi, Pengakuan Dosa, Tahbisan, Perkawinan, dan
Urapan orang sakit) merupakan tanda yang menyampaikan rahmat dan kasih Tuhan
secara nyata. Hal ini merupakan pemenuhan janji Kristus yang tidak akan pernah
meninggalkan kita sebagai yatim piatu (Yoh 14:18). Melalui sakramen tersebut,
Allah mengirimkan Roh Kudus-Nya untuk menyembuhkan, memberi makan dan
menguatkan kita.
Keberadaan sakramen
sebenarnya telah diperkenalkan sejak zaman Perjanjian Lama, tetapi pada saat
itu hanya merupakan simbol saja -seperti sunat dan perjamuan Paskah (pembebasan
Israel dari Mesir)- dan bukan sebagai tanda yang menyampaikan rahmat Tuhan.
Kemudian Kristus datang, bukan untuk menghapuskan Perjanjian Lama melainkan
untuk menggenapinya. Maka Kristus tidak menghapuskan simbol-simbol itu tetapi
menyempurnakannya, dengan menjadikan simbol sebagai tanda ilahi. Sunat
disempurnakan menjadi Pembaptisan, dan perjamuan Paskah menjadi Ekaristi.
Dengan demikian, sakramen bukan hanya sekedar simbol semata, tapi menjadi tanda
yang sungguh menyampaikan rahmat Tuhan.
Di sini kita melihat
bagaimana Allah tidak menganggap benda- benda lahiriah sebagai sesuatu yang
buruk, sebab di akhir penciptaan Allah melihat semuanya itu baik (Gen 1:31).
Bukti lain adalah Kristus sendiri mengambil rupa tubuh manusia (yang termasuk
‘benda’ hidup) sewaktu dilahirkan ke dunia (lih. Ibr 10:5) Kita dapat melihat
pula bahwa di dalam hidupNya, Yesus menyembuhkan, memberi makan dan menguatkan
orang-orang dengan menggunakan perantaraan benda-benda, seperti tanah sewaktu
menyembuhkan orang buta (Yoh 9:1-7); air sewaktu mengubahnya menjadi anggur di
Kana (Yoh 2:1-11), roti dan ikan dalam mukjizat pergandaan untuk memberi makan
5000 orang (Yoh 6:5-13), dan roti dan anggur yang diubah menjadi Tubuh dan
DarahNya di dalam Ekaristi (Mat 26:26-28). Jika Yesus mau, tentu Ia dapat
melakukan mujizat secara langsung, tetapi Ia memilih untuk menggunakan
benda-benda tersebut sebagai perantara. Janganlah kita lupa bahwa Ia adalah
Tuhan dari segala sesuatu, dan karenanya Ia bebas menentukan seturut kehendak
dan kebijaksanaan-Nya untuk menyampaikan rahmatNya kepada kita.
a.
Sakramen pembaptisan
Akibat dosa asal, kita
lahir di dunia dengan kehilangan kemuliaan Allah (Rm 3:23), sehingga kita tidak
mungkin bersekutu dengan Allah. Yesus telah turun ke dunia untuk membawa
manusia kembali ke pangkuan Allah. Yesus mengatakan bahwa seseorang harus
“dilahirkan kembali dalam air dan Roh” (Yoh 3:5), yaitu di dalam Pembaptisan,
di mana seseorang dilahirkan kembali secara spiritual. Oleh kelahiran baru di
dalam Pembaptisan ini kita diselamatkan (lih. 1Pet 3:21), karena di dalam
Pembaptisan kita dipersatukan dengan kematian Kristus untuk dibangkitkan
bersama-sama dengan Dia (Rom 6:5).
Jadi Sakramen
Pembaptisan mendatangkan dua macam berkat, yaitu penghapusan dosa dan pencurahan
Roh Kudus beserta karuniaNya ke dalam jiwa kita, yang memampukan kita untuk
hidup baru (Acts 2:38). Oleh Pembaptisan, kita diangkat menjadi anak-anak Allah
dan digabungkan ke dalam Gereja yang menjadikan kita anggota Tubuh Kristus.
b. Sakramen ekaristi
Kristus mengasihi
Gereja-Nya tanpa batas dengan menganugerahkan Tubuh dan Darah-Nya sendiri
kepada setiap anggota keluargaNya di dalam perjamuan Ekaristi. Ekaristi
merupakan penyempurnaan dari perjamuan Paska Perjanjian Lama, yang ditandai
dengan kurban anak domba yang membebaskan orang-orang Israel dari maut. Dalam
Ekaristi, Kristuslah, Anak Domba Allah yang menjadi kurban untuk menghapus
dosa-dosa kita, dan karena itu kita memasuki Perjanjian Baru yang membebaskan
kita dari kematian
Kristus mengasihi
Gereja-Nya tanpa batas dengan menganugerahkan Tubuh dan Darah-Nya sendiri
kepada setiap anggota keluargaNya di dalam perjamuan Ekaristi. Ekaristi
merupakan penyempurnaan dari perjamuan Paska Perjanjian Lama, yang ditandai
dengan kurban anak domba yang membebaskan orang-orang Israel dari maut. Dalam
Ekaristi, Kristuslah, Anak Domba Allah yang menjadi kurban untuk menghapus
dosa-dosa kita, dan karena itu kita memasuki Perjanjian Baru yang membebaskan
kita dari kematian kekal.
Yesus sendiri berkata,
“Jika kamu tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku, engkau tidak mempunyai
hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53). Maka, dengan menyambut Ekaristi, kita
melaksanakan ajaran Yesus untuk memperoleh hidup yang kekal. Sakramen ini
ditetapkan oleh Yesus sendiri pada Perjamuan Terakhir sebelum sengsara-Nya,
ketika Ia berkata kepada para rasulNya, “Ambillah, makanlah, inilah TubuhKu…
Minumlah…inilah darahKu yang ditumpahkan bagiMu.. ..perbuatlah ini menjadi
peringatan akan Aku” (Luk 22:19-29,Mat Mat26: 28, Mrk 14:22-24).
Gereja Katolik
mengajarkan bahwa kurban salib Kristus terjadi hanya sekali untuk
selama-lamanya (Ibr 9:28). Kristus tidak disalibkan kembali di dalam setiap
Misa Kudus, tetapi kurban yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa
Roh Kudus untuk mendatangkan buah-buahnya, yaitu penebusan dan pengampunan
dosa. Hal itu dimungkinkan karena Yesus yang mengurbankan Diri adalah Tuhan
yang tidak terbatas oleh waktu dan kematian, sehingga kurbanNya dapat
dihadirkan kembali, tanpa berarti diulangi.
Melalui perkataan imam
yang dikenal sebagai konsekrasi, roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah
Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Karena itu, kita harus memeriksa diri sebelum
menyambut Ekaristi, sebab “barangsiapa dengan tidak layak makan roti dan minum
cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan…dan barangsiapa makan
dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya”
(1Kor 11:27-29). Dari pengajaran Rasul Paulus ini, kita mengetahui bahwa
Kristus sungguh hadir di dalam Ekaristi. Yesus memakai segala cara untuk
menyatakan bahwa Ia mau tinggal bersama kita, untuk menyertai dan menguduskan
kita, karena sungguh besarlah kasihNya kepada kita sebagai anggota Gereja-Nya.
c. Sakramen penguatan
Tuhan memperkuat jiwa
kita juga dengan Sakramen Penguatan. Hal ini kita lihat dari kisah para rasul
yang, walaupun telah menerima rahmat Tuhan, mereka dikuatkan secara istimewa
pada hari Pentakosta, ketika Roh Kudus turun atas mereka. Atas karunia Roh Kudus
ini para rasul dapat dengan berani mengabarkan Injil dan melaksanakan misi yang
Yesus percayakan kepada mereka. Karunia Roh Kudus ini diturunkan melalui
penumpangan tangan para rasul (Kis 8:14-17) yang kemudian juga dilanjutkan oleh
para penerus mereka (para uskup) kepada Gereja-Nya. Melalui Sakramen Penguatan
inilah kita dikuatkan dalam iman untuk menghadapi tantangan hidup
d. Sakramen
pengakuan/tobat
Allah mengetahui bahwa
di dalam perjalanan iman, kita dapat jatuh di dalam dosa. Maka Ia
menganugerahkan Sakramen Pengakuan/ Tobat pada kita, karena Allah selalu siap
sedia untuk mengangkat kita dan mengembalikan kita ke dalam persekutuan dengan
Dia. Di dalam sakramen ini kita mengakukan dosa kita di hadapan imam, karena
Yesus telah memberi kuasa kepada para imamNya untuk melepaskan umatNya dari
dosa. Setelah kebangkitanNya, Yesus berkata kepada para rasulNya, “Terimalah
Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau
kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:22-23).
Melalui Sakramen Tobat ini kita menerima pengampunan dosa dari Tuhan dan juga
rahmatNya, yang membantu kita untuk menolak godaan dosa di waktu yang akan
datang.
e. Sakramen perkawinan
Sebagian besar orang
dipanggil untuk kehidupan berumah tangga. Melalui Sakramen Perkawinan, Tuhan
memberikan rahmat yang khusus kepada pasangan yang menikah untuk menghadapi
bermacam tantangan yang mungkin timbul, terutama sehubungan dengan membesarkan
anak-anak dan mendidik mereka untuk menjadi para pengikut Kristus yang sejati.
Dalam sakramen
Perkawinan terdapat tiga pihak yang dilibatkan, yaitu mempelai pria, mempelai
wanita dan Allah sendiri. Ketika kedua mempelai menerimakan sakramen
Perkawinan, Tuhan berada di tengah mereka, menjadi saksi dan memberkati mereka.
Allah menjadi saksi melalui perantaraan imam, atau diakon, yang berdiri sebagai
saksi dari pihak Gereja.
Sakramen Perkawinan
adalah kesatuan kudus antara suami dan istri yang menjadi tanda yang hidup
tentang hubungan Kristus dengan GerejaNya (Ef 2:21-33). Karenanya, perkawinan
sakramental Katolik adalah sesuatu yang tetap dan tak terceraikan, kecuali oleh
maut (Mrk 10:1-2, Rom 7:2-3, 1Kor 7:10-11).
f. Sakramen tabisan/ imamat
Pada zaman Perjanjian
Lama, meskipun bangsa Israel telah dikatakan sebagai ‘kerajaan imam dan bangsa
yang kudus’ (Kel 19:6), Allah tetap memanggil para pria tertentu untuk
menjalankan tugas sebagai imam (Kel 19:22). Hal yang sama terjadi di dalam
Perjanjian Baru, sebab walaupun semua orang Kristen dikatakan sebagai ‘imamat
yang rajani’ (1Pet2:9), namunYesus memanggil secara khusus beberapa orang pria
untuk menjalankan tugas pelayanan sebagai imam. Melalui Tahbisan ini, para imam
diangkat untuk menjadi pelayan Gereja untuk menjalankan tugas-tugas Kristus,
yaitu sebagai imam untuk menguduskan, nabi untuk mengajar dan raja untuk
memimpin dan melayani umat-Nya. Di atas semua ini tugas yang terpenting adalah
mengabarkan Injil dan menyampaikan sakramen-sakramen.
g. Sakramen pengurapan
orang sakit/ Minyak Suci
Alkitab mengatakan agar
jika kita sakit, maka baiklah kita memanggil penatua Gereja untuk mendoakan dan
mengurapi kita dengan minyak di dalam nama Tuhan. Dan doa yang didoakan dengan
iman ini akan menyelamatkan kita yang sakit dan mengampuni dosa kita (Yak
5:14-15). Oleh karena itu, sakramen Urapan orang sakit ini tidak hanya
dimaksudkan untuk menguatkan kita di waktu sakit, tetapi juga untuk
membersihkan jiwa kita dari dosa.
2.9.
Istilah-Istilah dalam Sakramen
2.9.1.
Sacramentum tantum, res et sacramentum
dan res tantum
Sacramentum tantum, res
et sacramentum dan res tantum adalah tiga buah realitas yang ada dalam semua
sakramen.
Sacramentum tantum
adalah tanda sakramental (sacramental sign); sacramentum et res adalah
kenyataan sakramental (sacramental reality), dan res tantum adalah realitas
yang dinyatakan oleh sakramen tersebut (the reality that the sacrament pointed
to).
St. Thomas Aquinas
menyimpulkan tentang realitas sakramen, dengan mengatakan, “Sakramen- sakramen
menambahkan dua hal di dalam jiwa. Pertama adalah realitas sakramental seperti
karakter atau semacam penghiasan di jiwa; dan kedua, adalah sebuah kenyataan/
realitas saja, yaitu adalah rahmat.” (St. Thomas Aquinas, On Book IV of the
Sentences, 1, 1, 4)
Pada mulanya, istilah
sacramentum mengacu kepada apa yang kelihatan, seperti ritus dan benda- benda
yang kudus. Namun St. Agustinus juga mengajarkan bahwa sacramentum juga mengacu
kepada hal- hal yang tidak kelihatan, yaitu “meterai” di jiwa, seperti pada
“meterai baptisan”. Maka pada jaman skolastik di abad pertengahan, istilah
sacramentum dipahami sebagai tidak terbatas pada apa yang kelihatan tetapi juga
kepada apa yang dapat diketahui.
Maka penerapannya dalam
sakramen adalah:
a) Sacramentum
tantum: tanda lahiriah/ materia yang ada dalam konteks ritus tersebut. Materia
ini menandai misteri ilahi yang dirayakan dalam sakramen tersebut. Dalam
sakramen Pembaptisan, materia ini adalah air, dan dalam sakramen Ekaristi,
materianya adalah roti dan anggur yang dikonsekrasikan.
b) Res
et Sacramentum: realitas atau misteri yang diakibatkan dan ditandai oleh
sacramentum tantum tersebut. Realitas ini dalam beberapa sakramen (Baptis,
Penguatan dan Imamat) memberikan tanda yang tak terhapuskan/ indelible
character. Dalam sakramen Baptisan, realitas ini adalah meterai Roh Kudus; di
dalam sakramen Ekaristi, adalah kehadiran yang Kristus (Tubuh dan Darah-Nya)
yang nyata di dalam Ekaristi.
c) Res
tantum : rahmat rohani, yang ditandai dan diakibatkan oleh res et sacramentum.
Rahmat ini sifatnya menetap di dalam jiwa orang yang menerimanya, asalkan tidak
ada penghalang terhadap buah- buah Roh Kudus (penghalang ini adalah dosa
berat). Di dalam sakramen Baptis, res tantum adalah rahmat kelahiran kembali di
dalam Roh Kudus; di dalam sakramen Ekaristi, rahmat ini adalah partisipasi umat
yang menerima Ekaristi di dalam wafat dan kebangkitan Kristus dan buah-
buahnya.
2.9.2.
Ex opera operato dan ex opere operantis
a.
Ex opere operato
Terjemahan bebasnya
adalah “dari pekerjaan yang sudah terjadi (from the work already done)”.
Maksudnya adalah, jika kodrat komunikatif sakramen- sakramen ini telah
dipahami, maka sebuah sakramen yang telah dilakukan dengan benar dapat
menyampaikan rahmat Tuhan, dan tidak tergantung dari iman maupun karakter moral
dari pelayan sakramen maupun orang yang menerima sakramen. Rahmat ini mengalir
dari penetapan ilahi yang dinyatakan dalam sakramen.
Meskipun diperlukan
disposisi hati yang layak untuk menerima rahmat melalui sakramen- sakramen,
disposisi hati ini bukan merupakan penyebab bagi rahmat itu. Rahmat Tuhan yang
diberikan melalui sakramen- sakramen merupakan pemberian cuma- cuma dari Tuhan
yang dicurahkan karena kasih Allah sendiri. Dengan demikian penyebab rahmat itu
adalah Allah sendiri, dan bukan disposisi manusia. Prinsip ini mendasari
pemahaman bahwa meskipun perayaan Ekaristi dipimpin oleh seorang imam yang
tidak kudus hidupnya, tetapi efek dari sakramen itu tetap terjadi: yaitu
kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi.
b.
Ex opere operantis
Istilah ini arti
literalnya adalah “dari pekerjaan orang yang bekerja (from the work of the
doer)”, maksudnya adalah kadar rahmat Tuhan yang diperoleh sebanding dengan
usaha/ peran yang dilakukan oleh orang yang terlibat, yaitu kondisi iman dan
moral orang yang bersangkutan. Istilah ini dipakai untuk membedakannya dengan
ex opere operato, yang mengacu kepada kuasa menyaluran rahmat yang melekat di
dalam ritus sakramental tersebut, sebagai tindakan dari Kristus sendiri.
Maka istilah ex epere
operantis ini mengacu kepada faktor subyektif yang turut menentukan jumlah
rahmat yang diterima oleh seseorang jika ia melakukan tindakan kesalehan.
Misalnya dalam penggunaan sakramentali (seperti rosario, medali, skapular),
berpuasa atau untuk memperoleh indulgensi, berkat- berkat yang diterima
tergantung dari iman dan kasih kepada Tuhan yang dengannya sakramentali
digunakan, atau sebuah doa/ perbuatan baik tersebut dilakukan. Demikian juga
dengan pada saat kita mengikuti perayaan liturgi, disposisi batin yang baik
dibutuhkan agar kita dapat memperoleh buah- buahnya secara penuh. Hal ini
disebutkan dalam Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi, Sacrosanctum
Concilium, 11:
“Akan tetapi supaya
hasil guna itu diperoleh sepenuhnya, Umat beriman perlu datang menghadiri
liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka
menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan
rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya (lih. 2 Kor 6:1).
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Sakramen adalah tanda
yang kelihatan dari rahasia/ misteri Kristus -yang tak kelihatan- yang bekerja
di dalam Gereja-Nya oleh kuasa Roh Kudus. Betapa nyatanya ‘rahasia’ ini
diungkapkan di dalam sakramen-sakramen Gereja, terutama di dalam Ekaristi.
Karena itu dalam sekreman Allah yang tak kelihatan sungguh hadir dalam bentuk
symbol-simbol sakramen.
Dalam Gereja katolik
terdapat tujuh sakramen suci, yaitu: sakramen permandian (babtis), sakramen
tobat (pengakuan), sakramen ekaristi, sakramen krisma, sakramen perkawinan
(nika), sakramen imamat, dan sakramen minyak suci. Sakramen-sakramen ini
memiliki manfaat masing-masing dalam kehidupan umat katolik. Penerimaan
sakramen bukan hanya dipandang sebagai kriteria untuk menjadi orang katolik,
tetapi lebih pada rahmat yang terima dari sakramen itu. Artinya bahwa sesungguhnya
sakramen adalah symbol kehadiran Allah yang nyata dan tak kelihatan yang
menjadi sumber inspirasi hidup umat katolik. Karena itu sakramen merupakan
salah satu bentuk kecintaan Allah terhadap manusia yang mana manusia harus
betul-betul menyadari akan kehadiran Allah dengan sungguh-sungguh mempersiapkan
diri secara seutuhnya dalam penerimaan sakramen tersebut.
Sakramen memiliki
buah-buah rahmat yang sesunguhnya sangat dibuthkan oleh manusia yang percaya
akan kehadiran Allah dalam sakramen tersebut. Sakramen dalam Gereja katolik
memiliki dasar bibilis yang benar dan tidak diragukan lagi akan buah-buah
rahmat tersebut. Iman merupakan salah satu tuntutan mutlak dari setiap orang
dalam penerimaan sakramen. Sebab, dengan iman sesungguhnya buah-buah ramat itu
akan kita peroleh dalam sakramen itu.
Dengan penerimaan
sakramen, sesungguhnya kita sudah berpartisipasi dalam kehidupan kristus untuk
mewartakan kabar gembira di dunuia ini. Sebagai missal kita menerima sakramen
pembatisan kita sungguh-sungguh menjadi pengikut kristus dan siap menjalankan
tugas dari kristu. Bisa dikatakan sakramen adalah sebagai salah satu perjanjian
yang luhur antara maanusia dengan kristus dalam menjalankan tugas kita di dunia
ini.
3.2.
Saran
Sebagai orang Kristen
kita semua harus sadar akan eksistensi kita, yang mana kita harus melaksanakan
semua kewajiban kita sebagai pengikut kristus. Menjadi pengikut kristus berarti
kita siap untuk menjalankan tugas yang akan diembankan kepada kita. Sakramen
merukan salah satu symbol perjanjian kita dengan kristus dalam menjalankan
tugas tersebut. Karena itu kita harus siap secara iman dalam menerima sakramen
tersebut. Persiapan itu kita tunjukan lewat doa dan perbuatan yang mencerminkan
kita adalah pengikut kristus yang setia.
Sebagai umat kristus
kita tidak boleh menganggap sakramen hanya sebagai alat atau tanda bahwa kita
benar-benar orang Kristen. Tidak juga menganggap kalau sakramen sebagai indikator
bahwa kita sudah memenuh tuntutan gereja yang sifatnya fomalitas saja. Kita
harus lebih memaknai sakramen sebagai keselamatan kita sebagai pengikut
kristus. Keselamatan yang benar-benar nyata dan tak kelihatan oleh mata kepala
secara fisik. Nyata berarti ada dan dapat dilihat oleh iman kita. Sebab buah
rahmat dari sakramen hanya ada dalam iman dan kepercayaan akan sakramen
sebagai symbol keselamatan dan kehadiran Allah.
Sebagai umat Kristen
juga seharusnya kita saling menyadiri akan sesama kita yang kurang paham akan
sakramen dalam kehidupan kita. Tugas kita semua ialah memberitaukan kepada
sesama kita yang kurang antusias dalam penerimaan sakramen. Tindakan nyata kita
akan membawa kesan yang baik bagi orang lain yang ingin
mendalami
sakramen dalam gerja katolik. “Mari kita satukan tekan membangun iman melalu
sakramen”
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan
perlindungan-Nya, penulis dapat menyelesaiakan tulisan ini tepat waktu sesuai
dengan harapan awal. Tulisan ini merupakan sebuah hasil usaha keras dari
penulis yang mana semuanya merupakan restu dari yang maha kuasa. Pujian dan
syukur ini sebagai bentuk kebanggan buat penulis dalam menyelasaikan tulisan
ini.
Sebagai penyempurna kebanggan itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berupaya membantu penulis dalam menyempurnakan
tulisan ini. Hanya ucapan terimakasi yang bias penulis sampaikan,
sekiranya apa yang telah diberikan oleh saudara-saudari baik itu ide maupun
dukungan dalam bentuk lain dapat bermaanfaat bagi penulis untuk saat sekarang
maupun masa depan terutama dalam hal membuat tulisan serupa.
Tak ada gading yang tak retak. Mungkin kata-kata itu yang ingin disampaikan
pula pada kesempatan ini. Penulis menyadari akan berbagai kekurang yang ada
dalam tulisan ini. Penulis berharap agar kita semua memberikan masukan atau
kritikan yang dapat membangun bagi penulis sendiri. Kritikan dan masukan itu
penulis terima secara lapang dada dan secara ikhlas kami mengucapkan trimakasih
atas semuanya itu.
Penulis pun berharap semoga tulisan ini, bermaanfaat bagi kita semua, terutama
kita sebagai kaum kristiani. Bermanfaatnya tulisan ini merupakan kebanggan
tersendiri bagi penulis.
DAFTAR ISI
HAL.
KATA
PENGATAR.........................................................................................................
(i)
DAFTAR
ISI....................................................................................................................
(ii)
BAB
I. PENDAHULUAN.............................................................................................. (1)
1.1.Latar
Belakang................................................................................................... (1)
1.2.Tujuan
Penulisan................................................................................................ (1)
1.2.1.
Tujuan Umum....................................................................................... (2)
1.2.2.
Tujuan Khusus...................................................................................... (2)
1.3.Rumusan
masalah............................................................................................... 2)
1.4. Sistematika Penulisan………………
BAB
II. PEMBAHASAN...................................................................................... (3)
2.1.
Sakramen Selayang Pandang.........................................................................
(3,4)
2.1.1.
Pengertian Sakramen....................................................................................
(5).
2.1.2.
Jenis-Jenis Sakramen dalam Gereja Katolik..................................................
(5)
2.2.
Validitas dan keabsahanya pelayanan sakramen-sakramen............................. (6,7)
2.3.
Apa pentingnya sakramen dalam kehidupan kita............................................ (8)
2.4.
Mengapa tuhan mendirikan sakramen.............................................................. (9)
2.5.
Mengapa harus ada tujuh sakramen dalam gereja katolik............................. (10,11)
2.6.
Siapa yang menciptakan sakramen..................................................................
(12)
2.7.
Akibat utama yang dihasilkan oleh sakramen...............................................
(13,14)
2.8.
Dasar biblis sakramen-sakramen dalam gereja katolik................................... (15).
2.9.Iistilah-istilah
dalam sakramen.........................................................................
(16)
2.9.1
Sacramentum tantum, res et sacramentum dan res tantum........................... (17)
2.9.2.
Ex opera operato dan ex opere operantis.....................................................
(18)
BAB III. PENUTUP
3.1.
Kesimpulan...................................................................................................... (19)
3.2.
Saran................................................................................................................
(20)
MAKALAH
ARTI
DAN PERANAN SAKRAMEN - SAKRAMEN
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Pendidikan
Agama Katolik
Disusun
Oleh Kelompok
Prodi : Pendidikan Olaraga
Ketua : EMANUEL SENA
Moderator :
Notulen :
Pemateri :
Anggota :
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
( STKIP SIMBIOSIS )
TAHUN AJARAN : 2017 / 2018
تعليقات
إرسال تعليق