Tanah Adat Suku Ende-Lio

Tanah Adat Ende -Lio


24 September adalah salah satu tanggal bersejarah dalam sejarah perkembangan agrarian/pertanahan di Indonesia pada umumnya dan dalam pembaharuan Hukum Agraria/Hukum Tanah Indonesia pada khususnya. Karena pada tanggal tersebut, 24 September 1960, Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno mensahkan Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria yang dikenal dengan nama Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 104 tahun 1960. (Harsono, 2008 : 1)
Sejak dahulu tanah memiliki daya tarik tersendiri  dan  selalu berkaitan dengan kekuasaan. Seorang raja yang Jaya atau makmur pada jaman dahulu digambarkan dengan luasnya tanah kekuasaannya. Seorang bangsawan dikatakan kaya jika dia memiliki sejumlah tanah yang luas. Tanah menjadi target penguasaan sebuah resim atau dinasti yang berkuasa, perang selalu berakhir dengan hasil yang mengakibatkan pihak kalah memberikan tanah mereka kepada pihak yang menang.
Pada abad modern, nilai tanah tersebut tidak berubah. Tanah tetap memiliki nilai yang sangat berharga karena merupakan bentuk kekayaan yang memiliki nilai investasi tetap bahkan akan terus naik. Pertambahan penduduk menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi pertambahan nilai tanah. Jumlah penduduk yang terus bertambah menuntut kebutuhan akan tanah, pembangunan yang terus berjalan dalam bingkai persaingan pasar global, menuntut kebutuhan akan infranstruktur yang menjadikan tanah sebagai kebutuhan pokok. Nilai tanah akan terus naik selama manusia itu ada. Nilai tanah yang naik/tinggi tentunya mengakibatkan pertambahan masalah seputar tanah tersebut.Sejumlah kasus penyerobotan lahan, sengketa tanah, dan klaim kepemilikan selalu menjadi bahan dalam persoalan tanah. Di Ende LIO sejumlah kasus kekerasan dan konflik didasari oleh perebutan tanah.  Laporan tertulis  Catatan Kebijakan Pemantuan Konflik Kekerasan di Indonesia dari The Habibie Center tentang Peta Kekerasan di Indonesia periode Januari – April 2012, menyatakan bahwa penyebab dan isu yang menonjol terjadinya kekerasan terutama di Ende Lio adalah sengketa tanah.[2] The Habibie Center mencatat bahwa dalam satu dekade terjadi sebanyak 175 insiden kekerasan akibat sengketa tanah yang menyebabkan 45 tewas, 347 cedera dan 388 bangunan rusak. Tiga hal yang mendominasi dalam akar masalah sengketa tanah yang terus menerus menjadi penyebab, antara lain : Batas wilayah antar-desa/negeri, klaim kepemilikan adat, dan tumpang tindihnya wilayah adat dengan wilayah administratif. Dalam catatannya, The Habibie Center menyatakan bahwa dari jumlah insiden konflik akibat sengketa tanah, kabupaten Ende  merupakan wilayah tertinggi dan diikuti oleh kota Manggarai, Adonara, Lembata. Sengketa tanah yang menjadi latar belakang konflik antar-negeri ini terjadi oleh karena batas wilayah antar-negeri dan klaim kepemilikan adat oleh kedua belah pihak, batas wilayah tanah adat menjadi persoalan utama, dengan demikian penulisan ini akan membahas masalah seputar tanah adat menurut Undang Undang Pokok Agraria.
Frank Cooley dalam Ambonese Adat :  A General Description, menghubungkan pentingnya adat dan leluhur  dalam pandangan masyarakat Adat Ende-Lio. Karena adat adalah pemberian nenek moyang atau leluhur dan harus di patuhi, adat juga merupakan representasi dari perintah leluhur sebagai pendiri komunitas. Adat adalah sebuah hukum dalam mengatur kehidupan bermasyarakat didalam komunitas (1962: 2-4). Kedua dimensi ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Dalam penjelasannya, Cooley menguraikan bahwa Leluhur yang adalah pendiri dari komunitas, mendirikan desa dan menetapkan adat sebagai sebuah sistem yang mengatur hidup mereka dimasa kini maupun mengatur hidup keturunan mereka di masa depan. Sehingga mereka yang menjalankan adat mendapat berkat dari leluhur, sedangkan mereka yang mengabaikan adat mendapat sebuah kutukan, seperti dalam penulisannya berikut ini :
“….., it becomes clear that adat is obligatory upon all members of the community precisely because it is believed to have been established and handed down to them by the ancestors. It represents the will of the ancestors. Observance of it is an expression of respect for the ancestors. To ignore or neglect it is to flout the will of the ancestors, and this is exceeedingly hazardous because of the power which they continue to hold.The sanctions of adat are thus rooted primarily in this power attributed to the ancestors”. (5)

Penjelasan diatas menggambarkan bagaimana leluhur menjadi tokoh penting dalam kepercayaan orang Ende-Lio. Leluhur menjadi tokoh sentral hadirnya adat dan komunitas negeri, karena itulah pelaksanaan adat menjadi penting, leluhur selalu dikaitkan dengan semua keberadaan adat dan Negeri, termaksud Tanah didalamnya. Inilah yang menjadi salah satu alasan bahwa tanah memiliki posisi yang penting dalam pemahaman adat masyarakat Ende-Lio, sehingga konflik – konflik tanah adat selalu menjadi konflik yang panjang karena tanah merupakan bagian dari integritas adat, komunitas (negeri) dan individu yang menjadi satu kesatuan utuh.
Keputusan Mahkamah Konstitusi No.35 disahkan lebih dari lima tahun yang lalu. Sejak itu, memang sudah ada kemajuan tetapi sangat lambat. Kepemimpinan yang kuat dari Presiden Joko Widodo sangat dibutuhkan untuk memberikan dukungan hukum dan politik agar proses perolehan kepemilikan tanah masyarakat adat dapat dipercepat. Saat ini, masyarakat adat di Indonesia tengah kesulitan melanjutkan kehidupan mereka dan bahkan mempertahankan eksistensi mereka sebagai masyarakat adat karena kurangnya akses terhadap sumber daya alam.
Sudah saatnya Presiden meninjau ulang proses legalisasi tanah adat yang berlaku, serta mengawasi penerapannya di lapangan agar kesenjangan yang selama ini merugikan masyarakat adat di seluruh nusantara dapat segera diperbaiki.
         Kepemilikan tanah di Lio sejak komunitas adat terbentuk berdasarkan struktur masyarakat adat. Dalam struktur adat di Lio dikenal tiga kelompok masyarakat hirarkis yakni :
Pertama, Mosalaki (pemangku adat),
Kedua, kelompok Ajiana, Faiwalu, Anahalo (warga kebanyakan) dan
Ketiga, kelompok Ataho’o rowa (para hamba dan budak).
Para Mosalaki disamping sebagai pemimpin komunitas masyarakat juga merupakan pemilik tanah ulayat dan pemangku adat. Dalam sebuah kampung atau tanah persekutuhan terdapat sejumlah mosalaki yang bergabung dalam dewan mosalaki. Mereka yang masuk dalam dewan mosalaki ini disebut Dewan Laki Ria. Para Ajiana, Faiwalu dan Ana halo masuk bilangan keluarga besar  mosalaki. Dalam hubungan dengan tanah Ajiana, Faiwalu  dan Anahalo (anak yatim dan piatu) hanya merupakan penggarap.
Di Lio pada zaman dulu  yang empunya tanah  adalah komunitas  masyarakat adat (MA). Semua ulayat yang termasuk dalam wilayah Lio  hanya dimiliki oleh MA. Karenanya seluruh tanah ulayat dipandang sebagai tanah  adat. Di setiap kampung apapun besar atau kecil semuanya masuk dalam  persekutuhan adat.  Karena merupakan tanah persekutuhan adat maka sistem penggunaannya diatur sesuai kaidah-kaidah adat. Dalam komunitas masyarakat tradisional pada umumnya yang memiliki tanah adalah para mosalaki atau tetua adat. Mereka ini  selain menjadi pemangku adat juga merupakan  pemula disebuah wilayah. Karena merupakan pemula otomatis dalam sistem tradisional dipandang sebagai pemilik tanah. Dalam suatu tatanan masyarakat adat biasanya mosalaki memiliki saudara dan saudari atau  kaum aji ana, para janda  atau faiwalu dan anak yatim piatu atau ana halo. Lebih dari itu mosalaki pun memiliki budak  atau ataho’o. Kepada kaum aji ana, faiwalu dan ana halo biasanya para mosalaki termasuk dalam Dewan Laki Ria memberikan/membagi lahan garapan. Karenanya kelompok ini dipandang sebagai penggarap. Kaum aji ana, faiwalu,ana halo akan bekerja untuk kepentingannya sampai kapan saja sejauh  mosalaki menghendakinya. Seluruh kebijakan atas tanah garapan dilakukan oleh para penggarap tetapi tetap dilaporkan kepada mosalaki supaya disampaikan kepada komunitas MA. Tentunya kebijakan yang diambil berprinsip pada kesejahteraan, tetap memiliki dan berada dalam persekutuhan. Di luar itu sama sekali tidak diberikan hak kepada kaum penggarap. Oleh karena menjadi penggarap maka mereka pun memiliki kewajiban-kewajiban adat seperti melancarkan  upacara seremonial adat yang dilakukan bersama dalam komunitas. Kebiasaan umum dalam  upacara adat yang dilakukan oleh mosalaki mendapat dukungan logistik dan bahkan finansial dari  para penggarap. Luasnya tanah yang digarap memiliki konsekuensi besarnya penyerahan kepada mosalaki (komunitas adat). Kepatuhan para penggarap terhadap urusan seremoni adat diungkapkan dalam kata-kata:  “pare wati manu eko, moke sa boti, telo saliwu” (beras satu ambung/anyaman dari lontar, ayam satu ekor, moke/alkohol satu botol dan telur ayam 4 butir). Sebagian   penggarap  bisa mewariskan tanah garapan kepada anak cucunya tetapi sebagian lainnya  tidak. Hal ini berlaku sejauh mana pola hubungan yang dibangun antara para penggarap dengan mosalaki.
Istilah aji ana dalam lingkup Lio tidak terbatas pada saudara dan saudari  karena pertalian keluarga melainkan juga termasuk masyarakat asing yang telah diterima masuk oleh mosalaki atau tua adat menjadi bagian dari keluarganya. Karena itu  kewenangan untuk menggarap tanah berlaku sama untuk semua.Sedangkan kaum ata ho’o tidak memiliki tanah garapan. Mereka hanya bertugas melayani  kaum mosalaki. Kehidupan mereka sepenuhnya bergantung dari kebaikan hati mosalaki. Mereka hanya bisa menggarap di lahan  milik mosalaki. Kelompok ataho’o biasanya tidak banyak. Umumnya mereka berasal dari keluarga lain yang memang pada dasarnya adalah hamba sahaya atau juga orang asing yang diperlakukan menjadi hamba.
Sebelum terbetuknya kerajaan Lio yang berpusat di Wolowaru, masing-masing wilayah  memiliki potret MA sebagaimana diuraikan di atas. Tetapi ketika pemerintah Kolonial Belanda mulai membentuk Kerajaan Lio pada era 1900-an, sejak saat itu perlahan-lahan terjadi pergeseran hak-hak MA beserta konsekuensi-konsekuensinya. Kenyataan ini  berlangsung seiring upaya Belanda untuk menyatukan berbagai wilayah sehingga diatur sesuai kepentingan kolonial. Sejak itu pula banyak mosalaki dengan rekayasa kolonial diminta  untuk menyerahkan tanahnya  kepada raja untuk kepentingan kerajaan. Kaum mosalaki  harus tunduk kepada raja dan perangkat-perangkatnya. Dengan ketaatan itu telah memungkinkan degradasi loyalitas di kalangan MA manakala komunitas menyaksikan  mosalaki mereka tunduk kepada raja. Sikap takluk kepada raja ini disertai kepasrahan menyerahkan tanah untuk kepentingan raja dan kerajaan.
Selama masa kepemimpinan raja Pius Rasi Wangge di Lio, banyak tanah masyarakat  difungsikan   untuk  kepentingan  kerajaan. Raja memanfaatkan tanah untuk menanam kelapa, menjadikan kebun dan sawah. Dalam perjalanan selanjutnya raja pun mempersilahkan Masyarakat Lio Selatan yang meliputi kawasan Lise untuk perlahan berpindah ke wilayah Pantai Utara Lio yang mencakup Maurole, Welamosa, Ana Randa, Ranakolo, Mautenda dan Kota Baru. Raja mempersilahkan warga suku Lise  mendiami kawasan yang dikenal sangat subur itu untuk menggarap sawah dan bermukim sambil mengembangkan seremoni adat Lise. Di kawasan pantai Utara yang berdekatan dengan Sikka yang sekarang dikenal dengan sebutan Kota Baru secara khusus raja hanya mempersilahkan orang dari sekampungnya yakni Wololele A untuk mendiami daerah itu. Di tempat-tempat baru  tradisi seremonial adat Lise berkembang terus hingga masa kini. Karena itu pula kawasan baru sering orang menyebutnya Lio Utara /Ela Papa ghele atau Lise Baru. Proses perpindahan ini pun terus berlangsung hingga masa Indonesia merdeka  sampai pada dasa warsa 1970-an.
Pada kenyataan yang lain bersamaan dengan pendudukan  Kolonial Belanda  pada era 1900-an banyak pula  tanah MA diserahkan  bagi  kepentingan Gereja Katolik seperti membangun pastoran, biara dan sekolah-sekolah. Kedudukan tanah misi hingga saat ini tidak pernah diganggu gugat dan bagi kalangan MA pembicaraan tentang tanah misi telah final.
Di masa   Indonesia merdeka perubahan pun terus berlangsung. Banyak lahan yang diambil oleh raja Lio sebagian diambil kembali oleh para pemiliknya dan  hanya sebagian kecil lainnya tetap di tangan keluarga raja. Ketika Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mengatur  kepemilikan tanah di seluruh Indonesia, sejak saat itu pula mulai terjadi perubahan dalam sistem kepemilikan tanah. Di suatu pihak dikalangan masyarakat tradisional masih mengakui bahwa tanah ulayat adalah milik MA tetapi di sisi lain baik mosalaki maupun para penggarap yang terwaris secara  turun temurun  berusaha untuk memilikinya secara otonom. Apalagi negara mengkondisikannya lewat pengaturan  sertifikasi tanah. Serentak dengan proses itu di beberapa tempat  secara  meningkat terjadi kehilangan peran dan fungsi  mosalaki/tetua adat dalam  komunitas MA. Masing-masing pihak yang telah mengantongi sertifikat  memandang sebagai tuan tanah baru yang tidak harus taat kepada komunitas adat. Dengan itu pula pemilik sertifikat  mengklaim mempunyai  alasan untuk menjual atau berbuat apa saja yang dikehendaki atas tanahnya.

Kenyataan Kepemilikan Atas Tanah.
1.       Mula-mula leluhur orang Lio  hidup bersifat nomaden dari satu tempat ke tempat yang lain. Apalagi keberadaan mereka di suatu tempat lebih merupakan  upaya penyelamatan diri terhadap berbagai serangan orang asing. Dalam perkembangannya ketika perlahan-lahan menetap, kecenderungan menguasai tanah seirama kesadaran mengembangan seremoni adat secara otomatis terjadi. Sejak saat itu pengklaiman atas wilayah menjadi mungkin. Berdasarkan dinamika yang terus berkembang sejak masyarakat mulai menetap   cara-cara memperoleh  tanah dapat dilakukan sebagai berikut:
2.       Penaklukan. Wilayah tertentu diserang dan berhasil ditaklukan otomatis wilayah tersebut dikuasai. Ada yang hanya sementara tapi ada pula yang bertahan terus hingga diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya  Tanah hasil penaklukan itu diterima atau diakui dalam sebuah upacara ritual yang disebut Mopo. Upacara Mopo ini diselenggarakan oleh marga yang mendapatkannya dengan dihadiri oleh Dewan Laki Ria serta segenap warga MA. Mopo lebih merupakan upacara mendapatkan legitimasi  atas tanah yang diperoleh dengan cara penaklukan. Berdasarkan kenyataan sejarah tanah ulayat yang berada di Lio hingga sekarang kebanyakan merupakan hasil penaklukan, perampasan dan penyerobotan oleh para leluhur zaman dulu. Peperangan antar kawasan sering terjadi demi mendapatkan tanah. Term Lio menyebutkan tanah hasil peperangan : tanah eo busa mesu aro mbore
3.       Pembagian. Pembagian tanah komunal  sejak komunitas MA terbentuk dilakukan oleh Dewan Laki Ria yang dipelopori Laki Pu’u dan dilaksanakan oleh Ria Bewa. Tana äe moka adalah lahan  subur yang diberikan kepada Ria Bewa untuk digarap demi jabatan fungsionalnya. Tanah äe moka dapat dijadikan tanah warisan secara turun temurun karena jabatan ria bewa pun turun temurun.  Walaupun diwariskan turun temurun (pa’a repa pi’i) tetapi tetap tergolong dalam tanah persekutuhan. Sedangkan untuk kalangan mosalaki lainnya bisa didapatkan berdasarkan jabatan dan peran dalam komunitas MA. Begitu pula halnya  pembagian tanah kepada para penggarap seperti   aji ana, faiwalu dan ana halo. Motivasi pembagian didasarkan pada kepentingan mendapatkan hasil sebanyak mungkin demi kesejahteraan hidup dan  pelaksanaan  seremonial adat. Di banyak wilayah mengingat penggarap senantiasa mewarisi kepada generasi berikutnya secara turun temurun maka dengan sendirinya tanah garapan itu diyakini menjadi milik pribadi. Ketika menjadi bagian dari NKRI, pembagian atas tanah selain untuk kesejahteraan keluarga juga dilakukan  untuk meringankan biaya wajib pajak. Hal ini mulai berlangsung disaat dilancarkan politik setifikasi tanah untuk kepentingan wajib pajak.
Pemberian. Dilakukan oleh pemilik tanah atau pemangku adat kepada seseorang yang dipandang berjasa bagi dirinya atau keluarga serta klan seperti mendukung kekuatan memenangkan perang melawan musuh
·         Warisan leluhur. Cenderung pewarisan ini lebih karena alasan-alasan khusus seperti karena leluhur/orang tuanya merupakan mosalaki (memiliki ura aje) atau juga bukan mosalaki tetapi memiliki ura aje yang didalamnya mempunyai materi yang bernilai seperti tanaman, sawah, bangunan/rumah, dan kebun luas. Sejak dekade 1970-an pewarisan karena memiliki sertifikat dipandang memiliki keabsahan karena tidak sekedar pengklaiman. Umumnya yang memperoleh hak warisan adalah anak lelaki
·         Hubungan kawin mengawin. Dalam banyak tempat alasan kepemilikan karena hubungan kawin mengawin  menjadi kenyataan yang sangat umum. Relasi familar karena  hubungan tersebut umumnya dimeteraikan dengan kebiasaan  wuru mana. Ada ungkapan yang menggambarkan realitanya: “pati do no’o lawo lambu, pio do no’o jara  eko, gara sawe no’o ngawu” = tanah yang diperoleh sudah diberikan dengan sarung dan baju (pakaian tradisional Lio), satu ekor kuda dan emas/ arti yang dimaksud yakni belis.
·         Penunjukkan atau pengangkatan. Orang tua yang tidak memiliki keturunan (biasanya anak lelaki  sebagai pewaris), umumnya menunjuk atau mengangkat  seseorang dari keluarga dekat untuk menjadi alih waris atau disebut “kawe dari nia”
Penyerobotan atau perampasan. Umumnya  kenyataan ini dilakukan oleh orang-orang yang secara fisik lebih kuat dari pihak tertentu. Acapkali dalam kasus seperti ini tanah yang diserobot bisa diperoleh kembali ketika ada kekuatan tandingan tapi juga bisa beralih tangan terus kepada generasi baru. Sering orang menyebut tanah hasil rampasan dengan ungkapan Lio, “tana o mbou leka ata”.
Pembelian  melalui proses transaksi jual beli secara formil. Umumnya yang mendapatkan tanah dengan cara ini ialah kaum pendatang. atau lazim disebut “ata mai,/ ata riwu rewo ngasu pesa”
Tukar menukar.  Seseorang bisa mendapat tanah karena menukar dengan hewan, barang antik seperti emas atau juga material lainnya yang memiliki nilai tertentu.


تعليقات